Hujan turun rintik-rintik saat aku memasuki lorong kecil yang rimbun di pagi hari itu. Sekilas tercium sedikit bau busuk dari sampah yang baru datang, menumpuk di halaman sebelah. Tapi begitu masuk ruang pertemuan yang terang benderang, dengan suhu ruangan ber AC yang nyaman, tidak ada lagi bau busuk, apalagi lalat. Itulah kesan pertama yang kurasakan sewaktu mengunjungi lokasi tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) Rawasari yang terletak di Jl. Rawasari Selatan, dekat Kantor Kecamatan Cempaka Putih, Jakarta Pusat beberapa hari yang lalu.
Sampah yang dihasilkan warga sekitar diolah di TPST Rawasari menjadi kompos dan barang-barang bermanfaat lainnya, seperti taplak meja, tas, dan berbagai wadah yang cantik, sisanya baru dibuang ke tempat pengolahan akhir atau TPA. Yang menarik, tidak ada bau sama sekali dan sergapan lalat seperti kita temui pada pengolahan sampah di tempat lain yang baunya menyengat dan lalat beterbangan. Halaman yang digunakan untuk mengolah sampah tampak bersih, bersebelahan dengan kebun yang asri dengan berbagai tanaman yang rindang, sehingga pengunjung tidak merasa berada di tempat pengolahan sampah.
Adalah Sri Bebassari, seorang penggiat pengolahan sampah, yang menjadikan TPST Rawasari menjadi menarik. Apa resepnya? “Jangan biarkan sampah menginap”, kata Sri yang akrab dipanggil Enchi. “Begitu datang, sampah langsung dipilah, sampah daun dicacah dulu, dan sampah bukan organik dipisahkan, dengan demikian sampah tidak sempat membusuk dan bau”, kata perempuan paruh baya yang dijuluki Ratu Sampah itu. Berkat kerja kerasnya, Sri, yang lulusan Teknik Penyehatan (sekarang Teknik Lingkungan) ITB tahun 1979 tersebut, mendapatkan Kalpataru Kategori Pembina Lingkungan pada tahun 2015, penghargaan tertinggi dari pemerintah untuk para penggiat yang peduli pada lingkungan.
Sri bercerita bahwa TPST itu dulunya adalah proyek percontohan yang dibuat oleh BPPT sewaktu dia bekerja dulu, untuk pengolahan sampah terpadu skala lingkungan. Setelah diserahterimakan ke Pemda DKI, ternyata proyek tersebut terbengkalai, mangkrak dan tidak jelas keberlanjutannya. Dengan memanfaatkan jabatannya sebagai Ketua Umum Indonesia Solid Waste Association (InSWA), Sri kemudian membuat Kesepakatan Kerjasama (MoU) antara InSWA dengan Pemda DKI, untuk melanjutkan pengoperasian TPST tersebut, yang berlanjut sampai sekarang.
Saat ini TPST mengolah 2 ton sampah setiap hari dari lingkungan sekitarnya, dari kapasitas penuhnya sebanyak 4 ton perhari. Seharusnya, kata dia, Pemprov DKI membayar tipping fee kepadanya untuk setiap ton sampah yang dia olah, tapi pada kenyataannya dia harus mencari berbagai cara agar TPST eksis dan terus berjalan. Sebagian dari peralatan kantor dan fasilitas di TPST ini berasal dari barang-barang milik Sri sendiri yang dia boyong dari rumahnya, sebagian lain berasal dari sumbangan sukarela dan hasil kerjasama dengan beberapa fihak dalam program CSR. Sri sedang menuai kebajikan melalui kepeduliannya terhadap pengolahan sampah.
Memang, bagi kebanyakan pemerintah daerah, pengolahan sampah masih belum mendapat prioritas tinggi, kalah dengan pembangunan sarana kota lainnya. Menurut Sri, apabila kota diibaratkan sebagai rumah, maka kita sudah mampu membuat ruang tamu yang mewah sekelas lobi hotel bintang lima, tapi untuk urusan belakang, limbah dan sampah, sebagian besar dari kita masih belum peduli. Masih banyak pemerintah daerah yang belum mampu mengelola sampahnya dengan baik, karena dana yang disediakan untuk mengelola sampah masih jauh dari cukup.
Dari aspek pengaturan, kita masih tertinggal dari Jepang dan Singapura misalnya, yang telah lama memiliki peraturan perundangan tentang sampah. Di Jepang, peraturan tentang sampah sudah berumur 100 tahun. Kita masih bersyukur karena, meskipun sudah sangat terlambat, kita sudah memiliki undang undang tentang sampah dengan diterbitkannya UU No 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Peran Sri dalam penerbitan UU tersebut ternyata juga tidak kecil, mulai dari melobi anggota DPR sampai menulis surat langsung kepada Presiden SBY waktu itu. Kebetulan Sri pernah diminta ikut dalam rombongan SBY sewaktu kunjungan kerja ke Shanghai, China.
Menurutnya lagi, dalam masalah sampah, diluar aspek pendanaan dan peraturan, kita terlalu banyak berkutat pada aspek teknologi, tapi melupakan aspek penting lainnya yaitu kelembagaan dan sosial budaya. Dan diatas segalanya, niat atau bahasa kerennya: political will dari para elit politik di daerah masih rendah, padahal itu menjadi penentu berhasil tidaknya pengelolaan sampah yang baik.
Ditanya kenapa tertarik dengan sampah, Sri mengatakan bahwa yang belajar sampah di dunia ini tidak sampai 1 persen, sementara yang buang sampah itu semua orang, atau 100 persen. Jadi mengelola sampah itu benar-benar memerlukan kepedulian, ketekunan dan kecintaan. Itulah yang menjadi pendorong semangat perempuan kelahiran Bandung pada 28 Juni 1949 itu untuk menghabiskan waktunya menekuni pengolahan sampah dengan melakukan berbagai percobaan, jauh sebelum berdirinya InSWA pada tahun 2003.
Banyak dari kita yang mungkin belum tahu bahwa hari ini (21 Februari 2017) adalah Hari Peduli Sampah. Tanggal tersebut diambil dari peristiwa tragis terjadinya longsor di TPA Leuwi Gajah pada tahun 2005, yang menelan ratusan korban meninggal dan dua kampung adat hilang dari peta. Sejak itu, tanggal 21 Februari dijadikan sebagai Hari Peduli Sampah Nasional.
Lalu, apa artinya penerbitan UU tentang sampah dan ditetapkannya tanggal 21 Februari sebagai Hari Peduli Sampah bagi kita? Andalah yang harus menjawabnya. Yang jelas, sampah ternyata bisa dikelola dengan baik apabila kita peduli, dan ada niat, sesederhana itu.
Salam Kompasiana
Sumber : Kompasiana
http://googleweblight.com/?lite_url=http://m.kompasiana.com/rissukarma/menuai-kebajikan-melalui-kepedulian-menyambut-hari-peduli-sampah-nasional-21-februari-2017_58ab5de0927a61080ef56079&lc=id-ID&s=1&m=365&host=www.google.co.id&ts=1487629495&sig=AJsQQ1CvvVHefJOuotbKrHD9GPsLaQqEIA