Catatan dari Konferensi Perubahan Iklim PBB – PR dari “Doha-Jakarta”

Catatan dari Konferensi Perubahan Iklim PBB

PR dari “Doha-Jakarta”
*Brigitta Isworo Laksmi*
http://cetak.kompas.com/read/2012/12/11/03473085/pr.dari.doha-jakarta

Butuh waktu sekitar 10 jam menempuh Jakarta-Doha yang berjarak sekitar
6.920 kilometer. Demikian jauh. ”Jarak” antara yang dibahas dalam
Konferensi Perubahan Iklim PBB di bawah Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk
Perubahan Iklim itu dan realitas iklim di Indonesia juga jauh, bahkan lebih
jauh.

Tahun 2007, sebagai tuan rumah konferensi serupa pada Pertemuan Para Pihak
ke-13, Indonesia diberi acungan jempol di dunia internasional karena sukses
menembus kebuntuan. Lahirlah Bali Action Plan.

Setelah itu, hingga konferensi di Doha, ibu kota Qatar, yang berakhir Sabtu
(8/12), kiprah Indonesia di dunia internasional seolah semakin ”tak nyata”.

Padahal, dalam berbagai pernyataan anggota delegasi, selalu disebutkan
bahwa Indonesia memiliki andil besar dalam memecahkan kebuntuan negosiasi,
di antaranya di Kopenhagen, Denmark, saat COP-15.

Sebelum berangkat ke meja perundingan, delegasi Indonesia selalu
menyatakan, secara umum Indonesia tak mau mengambil posisi yang bisa
menghalangi kelancaran perundingan. Menghalangi dalam konteks apa? Tak
pernah terjelaskan. Yang terbaca oleh kaca mata publik kemudian adalah:
Indonesia akan menjadi ”anak manis” bagi negara-negara maju.

Jika ingin mencari alasan pembenaran, pemerintah bisa mengatakan, Indonesia
bukan negara miskin.

Pemerintah Indonesia membuktikan pernyataan itu dengan membeli surat
berharga Dana Moneter Internasional (IMF) senilai 1 miliar dollar AS
(sekitar Rp 9,5 triliun). Indonesia juga masuk kumpulan negara-negara
ekonomi maju, G-20. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan hal itu
dalam jumpa pers di Rio de Janeiro, Brasil, pada suatu pagi, Juni 2012.

Pemerintah seakan melupakan fakta lain. Dalam Konvensi Kerangka Kerja PBB
untuk Perubahan Iklim (UNFCCC), Indonesia masuk kelompok G-77 dan China
yang di dalamnya terdapat negara-negara miskin.

Anggota-anggota lainnya antara lain Haiti dengan produk domestik bruto
(PDB) per kapita 726 dollar AS dan Liberia (281 dollar AS), sementara PDB
per kapita Indonesia 3.495 dollar AS (sekitar Rp 33 juta, kurs 1 dollar AS
> Rp 9.500).

Pengamat perubahan iklim Teguh Surya, yang hadir di Doha, mengatakan,
pemerintah seakan menutup mata bahwa PDB telah mengaburkan fakta terkait
kemiskinan di Indonesia. Kesejahteraan masih jauh dari jangkauan buruh,
nelayan, dan petani gurem.

Indonesia pun demikian rentan dengan bencana banjir dan longsor, gagal
panen, serta gagal tanam yang terkait erat perubahan iklim.

Pada isu perubahan iklim, Indonesia lalu ”didorong” negara maju untuk
merealisasikan konsep pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi
lahan (REDD+). Untuk REDD+, Indonesia mendapat dana 1 miliar dollar AS
(sekitar Rp 9,5 triliun) dari Norwegia.

Yang muncul ke permukaan kemudian, suara Indonesia tak terdengar dalam
memperjuangkan terkait pendanaan adaptasi dan mendesak negara maju untuk
membayar ”utang iklim”—mereka mengemisi karbon sejak abad ke-18.

Tanpa kebijakan nasional

Selain alasan-alasan tentang posisi negara dalam konteks ekonomi itu, hal
kunci adalah tidak adanya kebijakan nasional terkait isu perubahan iklim.

Seperti dikatakan mantan anggota DPR, Sony Keraf, pemerintah tak pernah
mengomunikasikan posisinya kepada DPR. Sepulang konferensi pun tak ada
dengar pendapat khusus. Usulan kaukus lingkungan oleh Sony bisa jadi salah
satu jalan keluar demi munculnya satu kebijakan holistik soal perubahan
iklim.

Peraturan terkait perubahan iklim hanya ada di tingkat presiden. Misalnya,
rencana aksi nasional penurunan emisi gas rumah kaca diatur dalam Peraturan
Presiden Nomor 61 Tahun 2011, soal moratorium hutan diatur dengan Instruksi
Presiden No 10/2011—akan berakhir pertengahan tahun 2013. ”Ini menunjukkan
tidak adanya keseriusan pemerintah,” demikian dikatakan Direktur Eksekutif
Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Abetnego Tarigan.

Tidak adanya kebijakan politik ini mengkhawatirkan. Presiden Yudhoyono
berkomitmen menurunkan emisi 26 persen emisi karbon dengan upaya sendiri
dan 41 persen dengan bantuan luar negeri pada 2020 dibandingkan emisi yang
ada jika tak dilakukan intervensi apa pun.

Di Doha, Indonesia sibuk melaporkan proses REDD+ dalam konteks letter of
intent dengan Norwegia. ”Seolah-olah REDD+ jadi obat mujarab yang bakal
seketika bisa menghilangkan isu-isu seperti korupsi terkait hutan, konflik
lahan, masalah kemiskinan, pengakuan masyarakat adat, dan bencana akibat
eksploitasi, dan masih banyak lagi,” ujar Abetnego.

Pada Rabu (5/12) malam, Ketua Satgas REDD+ Kuntoro Mangkusubroto
menegaskan, ”Soal REDD+ tak hanya soal karbon dan hutan, tetapi sebenarnya
adalah soal kesejahteraan manusia, keadilan, dan penghapusan kemiskinan.”

Semua sepakat dan ingin meyakini apa yang diucapkan Kuntoro. Masalahnya,
pemerintahan SBY berakhir tahun 2014 dan tak bisa dipilih lagi. Jarak
antara diplomasi perubahan iklim Indonesia pada tingkat global dan problem
di lapangan amat jauh.

Jika Indonesia tak mau kehilangan muka di mata internasional, pemerintah
mendatang pasca-SBY harus bekerja ekstra keras. Itu pekerjaan rumah yang
tak mudah.

Leave a Reply

Your email address will not be published.