Beberapa hari ini beredar di media sosial ajakan untuk mendukung judicial review terhadap peraturan presiden No. 18/2016 tentang Percepatan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di 7 kota/provinsi: Jakarta, Tangerang, Bandung, Semarang, Makassar, Surabaya, dan Surakarta. Seruan itu berisi kekhawatiran bahwa sampah kota yang dibakar akan memberikan dampak buruk terhadap kesehatan dan lingkungan, dan bertentangan dengan kondisi di Indonesia, regulasi yang ada, dan lain sebagainya.
Sekilas, publik tentu akan langsung bereaksi ikut menentang Perpres tersebut, dan terbukti dari beberapa grup yang saya ikuti, re-tweet dan ajakan untuk mendukung semakin bergulir. Meskipun tetap ada juga yang tidak ikut re-tweet dengan berbagai alasan atau tidak menanggapi sama sekali. Memang demikian adanya media sosial saat ini.
Sebagai individu yang senang belajar tentang sampah, khususnya sampah kota, saya tergelitik untuk menanggapinya. Mudah-mudahan bisa memberikan pandangan yang lebih berimbang.
Pertama, perlu dimengerti terlebih dahulu bahwa yang dimaksud pembakaran sampah dalam Perpres bukanlah pembakaran terbuka seperti jaman dahulu nenek kakek kita membakar sampah di halaman. Atau pembakaran tertutup dengan tungku seperti di rumah sakit atau crematorium yang kapasitasnya kecil dan masih dilakukan feeding (sampah masuk) secara manual. Pembakaran kapasitas kecil semacam ini justru tidak lagi direkomendasikan untuk sampah kota dan terbukti banyak menemui kegagalan (BPPT, 2003).
Pembakaran yang dimaksud dalam Perpres adalah teknologi tinggi yang harus aman, baik prosesnya maupun abu dan emisi gas buang nya. Pembakaran sampah yang dimaksud dilakukan juga di banyak negara termasuk negara tetangga Singapura yang terkenal sangat bersih, dan sedikitnya berfungsi ganda: mengurangi volume sampah hingga tinggal abunya, dan menghasilkan tenaga listrik. Kapasitasnya minimal 1000 ton sampah per hari, dan listrik yang dihasilkan mampu mencapai 10 MW. Bangunan fisiknya mirip seperti mal yang banyak dijumpai di kota besar. Bukan investasi yang sedikit, karena penyedia teknologi nya wajib memiliki lisensi internasional, dan operator nya harus memiliki kompetensi tinggi. Hampir sepertiga dari investasi dialokasikan untuk memastikan emisi gas buang, termasuk dioksin yang sangat ditakutkan itu, aman. Menurut Internasional Solid Waste Association (ISWA) pada laporannya tahun 2013, tercatat lebih dari 1200 PLTSa beroperasi di lebih dari 40 negara di seluruh dunia.
Di Indonesia, pengembangan PLTSa sebenarnya juga bukan hal yang baru. Tahun 1980-an, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) melakukan Studi Kelayakan PLTSa untuk DKI Jakarta. Teknologi thermal pun telah dipilih untuk Intermediate Treatment Facility (ITF) di Sunter, dan proses lelang investasi pun telah dimulai. Demikian pula dengan Bandung. Berbekal kepahitan paska darurat sampah di kota tersebut, dilakukanlah proses lelang PLTSa untuk lokasi Gedebage. Namun proyek-proyek investasi ini tidak berlanjut hingga saat ini, karena berbagai kesulitan yang ditemui.
Kedua, publik juga perlu menyadari bahwa permasalahan sampah kota di Indonesia semakin pelik dan genting, sehingga urgensi untuk teknologi tinggi yang mampu menangani tingginya volume sampah semakin mendesak. Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah di kota-kota metropolitan semakin penuh, padahal lahan semakin terbatas. Jika estimasi setiap orang menghasilkan ‘dosa’ 0.5 kg sampah per hari, maka Jakarta menghasilkan 6000 ton per hari, membutuhkan lebih dari 1000 trip truk sampah, untuk ditimbun di ‘gunung sampah’ seluas lebih dari 120 hektar lahan di Bantargebang.
Bagi kita yang tinggal jauh dari lokasi TPA, mungkin tidak terbayang betapa gawatnya kondisi persampahan saat ini. Tapi ingatkah kita akan tutupnya TPA di Leuwigajah Bandung tahun 2005, yang berdampak pada kondisi kota yang ‘tertimbun’ sampah selama berminggu-minggu hingga ke jalan raya, halaman kantor, sekolah bahkan di depan rumah? Bukan tidak mungkin kejadian itu berulang, khususnya di kota-kota metropolitan dengan penduduk lebih dari 1 juta jiwa.
Instalasi pengolahan sampah skala besar khususnya PLTSa menjadi pilihan logis untuk darurat sampah, karena membutuhkan lahan yang tidak terlalu luas, dan didukung oleh teknologi yang sudah mapan. Pilihan lainnya jika sudah terjadi darurat sampah, adalah peraturan ekstrim bahwa seluruh lapisan masyarakat dilarang (ada sanksi hukumnya) membuang sampah terutama sampah mudah membusuk. Masyarakat harus memastikan untuk mengolah sendiri sampahnya, secara swadaya atau menggunakan jasa pihak lain. Siapkah kita jika ini terjadi?
Ketiga, Perpres ini tidak memberi arti bahwa PLTSa akan serta merta beroperasi dalam 1 – 2 tahun ke depan. Banyak hal yang harus diselesaikan, termasuk studi kelayakan untuk tiap kota/provinsi terpilih tersebut, untuk menentukan go or no go dari proyek PLTSa. Bukan hanya aspek teknisnya, tapi juga kelembagaan dan sosial.
Investasi yang tinggi juga membutuhkan kepastian sumber pembiayaan. Seperti diketahui, meskipun PLTSa dapat memperoleh income dari penjualan listrik, namun biaya pembangunan dan operasional yang tinggi – khususnya jika investasi dilakukan oleh swasta murni – tidak dapat tercukupi tanpa adanya pemasukan dari tipping fee atau jasa pengolahan sampah. Pemerintah masih berpikir ulang untuk memutuskan apakah subsidi dapat dilakukan terhadap proyek PLTSa. Tanpa subsidi, maka retribusi dari masyarakat lah yang harus dikejar untuk memenuhi kebutuhan biaya.
Pertanyaannya sekarang, siapkah kita mereformasi paradigma kita bahwa mengolah sampah tidaklah murah? Tentu banyak pilihan lain yang lebih murah, ramah lingkungan, seperti membuat kompos sendiri di rumah, ikut bank sampah, mendaur ulang, dan lain sebagainya. Tentu, jika penyakit persampahan kita masih sakit ringan dan sedang. Tapi jika sudah stroke, atau kanker, silakan tanyakan pada diri kita sendiri, apakah masih cukup dengan olah raga dan minum suplemen atau antibiotik? Mau tidak mau, suka tidak suka, ikhtiar kita tentu sudah ke level operasi besar, atau kemoterapi, yang memiliki resiko tinggi dan biaya mahal. Demikian juga dengan gawatnya penyakit persampahan kita di kota-kota metropolitan saat ini. Sudah saat nya kita berani ambil keputusan untuk nasib dan masa depan kita bersama. Wallahualam.
Dini Trisyanti
Deputi Peningkatan Kapasitas dan Pendampingan Teknis, Indonesia Solid Waste Association (InSWA)
Direktur, Sustainable Waste Indonesia (SWI)