INSWA Gelar sosialisasi pengelolaan sampah masker bekas pakai

Sejak terjadinya wabah Pandemi Covid-19, upaya pencegahan penularan penyakit merupakan kewajiban bagi semua insan di muka bumi ini. Pola hidup sehat dan bersih menjadi kebiasaan yang wajib dilakukan dalam kegiatan sehari-hari kita agar terhindar dari penyakit tersebut. Dalam menjalani aktivitas sehari-hari terkadang ada beberapa kegiatan yang memang harus dilakukan di luar rumah. Salah satu upaya pencegahan penularan virus tersebut adalah selalu menggunakan masker saat berinteraksi dengan orang lain.

Terkait dengan penggunaan masker yang menjadi kebiasaan sehari-hari selama masa pandemic ini, InSWA (Indonesia Solid Waste Association/ Perkumpulan Persampahan Indonesia) tergerak untuk mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk memahami cara pengelolaan sampah maskernya yang bekas pakai. Sampah masker di masa pandemi COVID19 ini dikategorikan sebagai sampah infeksius karena berpotensi menjadi salah satu sumber penularan penyakit, khususnya terhadap para petugas kebersihan yang melayani pengumpulan sampah dari sumber hingga ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). Oleh karena itu masyarakat dihimbau dan perlu diberikan pemahaman pengendalian sampah masker bekas pakai  dengan benar

INSWA bekerjasama dengan Yayasan PERISAI dan Pengelola stasiun Manggarai menyelenggarakan sosialisasi pengelolaan sampah masker kepada masyarakat khususnya pengguna tranportasi commuter line. Pemilihan stasiun Manggarai sebagai salah satu lokasi edukasi, antara lain mengingat stasiun manggarai sebagai stasiun transit terbesar di Jakarta yang mengakomodir para pengguna jasa commuter line dari berbagai daerah seperti Bekasi, Depok-Bogor, Tangerang dan tentunya lintas DKI Jakarta

Sosialisasi dilakukan oleh tim INSWA dan Pusat Pengembangan Riset Sampah Indonesia dengan melakukan edukasi langsung kepada pengguna jasa KRL dan melakukan peragaan oleh relawan INSWA. Kegiatan ini juga dibarengi dengan membagikan stiker tata cara pengelolaan sampah, pembagian masker dan tempat minum yang dapat diguna ulang secara gratis . Kegiatan dilaksanakan di 3 lokasi yaitu Lobby stasiun, peron jalur 1 dan peron jalur 3 dengan harapan dapat menjangkau sebaran penumpang dengan tetap melaksanakan protokol kesehatan standar dan phisical distancing

INSWA official: Nina Nazar, Hamim Abdullah, Olly Tasya, M. Yanuar

Apa kabar TPA sampah kita hari ini ?

Pendekatan end of life dalam pengelolaan sampah memang sudah dianggap usang dalam masa saat ini. Publik lebih intens membahas pemilahan sampah sejak di sumber, ekonomi sirkular, atau ocean plastic yang memang sedang trend ketimbang membahas Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah. Termasuk saya, yang sudah 4 tahun terakhir ini berjaring dengan industri daur ulang untuk mendorong pendekatah hulu ke hilir dalam mengelola sampah, dan berprasangka baik bahwa TPA sampah sudah berevolusi menjadi lebih baik.

Namun kenyataan miris di negeri ini tampaknya harus kita terima. Meski sejak 12 tahun lalu saat UU 18 tahun 2008 mengatakan TPA tidak boleh lagi sekedar open dumping (pembuangan terbuka) mulai 2013, hingga saat ini mayoritas TPA masih tetap beroperasi tanpa lahan penutup sesuai ketentuan. Mirisnya lagi, jika kita google berita mengenai TPA, yang muncul tidak jauh dari berita longsor, terbakar, diprotes, over kapasitas, hingga ditutup warga. Salah satu yang masih segar di ingatan kita adalah longsornya TPA Cipeucang di Tangerang Selatan, yang bukan hanya menebar aroma yang menusuk hidung selama berminggu-minggu, namun juga membahayakan sumber air baku bagi warganya, karena tumpahan sampah luber ke Sungai Cisadane yang berada tepat di sebelah TPA.

Meskipun ketentuan teknis dari pemerintah pusat sudah cukup lengkap, kenyataannya mendapatkan lokasi yang sesuai amatlah sulit, bahkan nyaris mustahil. TPA akhirnya ditempatkan pada lokasi yang terkesan ‘tidak ada pilihan’. Kurangnya keberpihakan lahan untuk fasilitas vital ini seringkali terlihat sejak perencanaan tata ruang, dan mungkin akhirnya menabrak berbagai aturan dalam penempatannya. Lihatlah berapa banyak TPA kita yang bertempat di pinggir jurang, pinggir sungai, atau bahkan tepi laut, di rawa-rawa, cenderung disembunyikan karena kondisinya yang semrawut dan tidak sedap dipandang. Publik baru tersadar dan menjadi terkejut bukan main ketika ada proyek pembangunan tol yang melintas tepat didekat lahan pembuangan sampah, seperti contoh saat tol laut Bali Mandara membuka pemandangan yang tepat ke arah TPA Suwung, membuat gerah semua orang. Hingga akhirnya turun kucuran dana massif untuk revitalisasi landscape di TPA tersebut agar citra Indonesia di mata internasional tidak anjlok di menit awal para tamu sampai di bandara.

Ruwetnya persoalan investasi infrastruktur persampahan sudah disadari banyak pihak. Pemerintah pusat mendorong program TPA regional (TPA yang digunakan bersama oleh beberapa kota/kabupaten sekaligus) hingga waste to energy sebagai senjata pamungkas infrastruktur persampahan berskala kota. Tidak sedikit para investor besar yang berminat untuk masuk ke persampahan. Bahkan untuk kota besar tertentu, hampir setiap minggu ada saja investor yang menawarkan teknologi X, atau skema Y, atau kemitraan Z untuk kota tersebut. Tentu saja hak otonomi daerah untuk memilih mana yang lebih menguntungkan dari berbagai tawaran tersebut. Pertanyaanya, kriteria apa yang digunakan untuk menyimpulkan tawaran tertentu adalah yang terbaik? Apakah ada ahli teknologi yang dapat mengkonfirmasi performanya, menghitung kelayakan ekonominya, kompatibilitas sosialnya, hingga janji-janji akan ada offtaker produk olahannya? Hal ini akan lebih rawan jika kota/kabupaten belum memiliki masterplan pengelolaan sampah sesuai amanat undang-undang. Alangkah sangat riskan membuat kesepakatan, meski baru sebatas MoU, semata-mata berdasarkan kunjungan pimpinan daerah ke luar negeri untuk melihat sistem yang berjalan disana, dan janji indah bahwa tanpa tipping fee atau jasa pelayanan, pemerintah daerah akan terbebas dari masalah sampah.

Dalam pengadaan investasi pengelolaan sampah skala kota, due diligence yang harus dilalui sesungguhnya cukup panjang. Skema Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU), misalnya, mensyaratkan jaminan sejumlah dana dari swasta yang harus ‘dikunci’ di Bank selama proses lelang. Disisi lain, untuk daerah yang memiliki indeks kapasitas fiskal daerah (IKFD) rendah umumnya tidak disarankan untuk KPBU. Proses persetujuan parlemen daerah, bank-ability dari proyek, kepercayaan lembaga peminjam dan soliditas konsorsium yang menjadi pemenang lelang saling terkait dan prosesnya membutuhkan waktu serta paper work yang cukup berat, disamping juga transparansi dan akuntabilitasnya.

Beberapa skema lainnya masih dapat digunakan, misalnya  untuk pengolahan sampah skala medium, dengan kerjasama investasi business to business bersama investor lokal, dimana pemerintah daerah berfungsi menetapkan kebijakan zonasi kawasan mandiri. Sayangnya skema ini terlihat kurang menarik jika dibanding investasi ratusan milyar dengan investor yang umumnya lebih mentereng dari pihak asing. Ditambah lagi dengan keengganan untuk melepaskan retribusi dan menaikkan tarif buang ke TPA, sehingga pengelola kawasan merasa masih ada alternatif membuang sampah yang lebih murah. Padahal skema pengolahan skala medium ini mengaplikasikan model bisnis dengan tiga sumber pembiayaan yang berimbang antara iuran pengguna (polluters pay principle), subsidi pemerintah, dan produk hasil olahan. Sangatlah naif dan patut dipertanyakan jika masih ada yang menyatakan masalah sampah dapat diselesaikan salah satu saja dari 3 sumber pembiayaan tersebut.

Indonesia sejak 15 tahun lalu sudah mengalami berbagai kegagalan pahit pengadaan infrastruktur persampahan skala kota. Namun pemerintah dan swasta tetap berupaya, dan saat ini ada beberapa yang cukup menunjukkan hasil. Salah satunya adalah KPBU pengadaan TPA Benowo di Surabaya, yang telah berjalan 10 tahun. Lalu yang baru saja diresmikan di Cilacap, dengan sistem Refused Derived Fuel (RDF) untuk co-firing batu bara cement kiln, yang merupakan hasil kolaborasi pusat, internasional, daerah, dan swasta offtaker RDF. Sungguh upaya dan kesabaran yang luar biasa dari pelaku kunci yang terlibat selama lebih dari 4 tahun.

Adapun yang tengah ditunggu diantaranya adalah Intermediate Treatment Facility (ITF) di Sunter, DKI Jakarta, dan Tempat Pemrosesan dan Pengolahan Akhir Sampah (TPPAS) di Lulut-Nambo, Kabupaten Bogor. Tidak seperti ITF Sunter yang peruntukannya hanya sampah DKI Jakarta, TPPAS Nambo menjadi lebih krusial karena peruntukannya untuk 4 kota/kabupaten sekaligus: Kota Depok, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, dan Kota Tangerang Selatan. Sejak dilakukannya groundbreaking pada akhir 2018 lalu oleh Gubernur Jabar, target beroperasi Juli 2020 dipastikan meleset. Imbasnya, TPA Cipayung Depok yang sudah over kapasitas (dan longsor pada awal 2020 lalu), harus kepayahan mencari alternatif membuang sampah. Demikian juga TPA Galuga Bogor, dan TPA Cipeucang Tangsel (yang sudah terlanjur longsor akhir Mei 2020 lalu). Lantas apakah ini namanya kalau bukan bom waktu? Meskipun masyarakat di rumah saja, sampah tidak menjadi nihil dan hilang dari pandangan.

TPPAS Nambo yang memiliki luas 55 ha sejatinya adalah percontohan kolaborasi investasi yang cukup lengkap. Selain KPBU yang ditangani Provinsi Jabar sebagai penanggug jawab proyek kerjasama (PJPK), Kementerian PUPR juga menghibahkan sanitary landfill untuk residu, lengkap dengan kolam lindi dan penunjangnya. Provinsi dan kabupaten/kota pen-supplai sampah juga sudah sepakat membayar biaya kompensasi kepada Kabupaten Bogor sebagai tuan rumah, disamping biaya jasa pengelolaan (tipping fee) yang besarnya Rp. 125 ribu/ton. Meskipun tipping fee ini terbilang rendah untuk sistem yang mengaplikasikan teknologi Mechanical Biological Treatment (MBT), kombinasi pembiayaan ini mestinya cukup baik, karena dilengkapi dengan hasil penjualan RDF untuk co-firing di perusahaan semen yang berlokasi di dekatnya. Jadi, dimanakah letak permasalahan tertundanya kolaborasi yang sudah sangat baik ini? Apakah dari sisi investor pemenang lelang, pemerintah pusat, pemerintah daerah, ataukah masyarakat sekitar? Mungkinkah investasi APBN yang telah dikucurkan dan dibangun akan berakhir mangkrak karena tidak dapat digunakan?

Dengan urgensi yang sangat tinggi mengingat over kapasitas TPA di seputar Jabodetabek, saya berharap segera ada titik terang dalam waktu dekat. Dalam situasi pandemic seperti ini, tentu kita tidak berharap berulangnya musibah TPA Cipeucang dan TPA Cipayung atau di tempat lain. Pemerintah daerah harus lebih berhati-hati dalam memprogramkan investasi persampahan, agar tidak terjebak pada MoU yang berakhir pada ketidakjelasan status dan mubazirnya waktu. Pemerintah pusat kiranya juga perlu melakukan program pendampingan yang lebih intens kepada daerah dalam permasalahan ini. Karena tanpa pendampingan, persoalan dan musibah yang berulang akan berakhir pada target-target nasional yang indah untuk dinyatakan, namun jauh dari kenyataan

Dini Trisyanti – Direktur, Sustainable Waste Indonesia (SWI)

Anggota Indonesia Solid Waste Association (InSWA)

Permasalahan Sampah di tengah Pandemi Korona

Ayo Pisahkan Sampahmu

PERANAN UMKM DALAM INDUSTRI JASA PENGELOLAAN SAMPAH

Jakarta, 30 Agustus 2019 – Akhir-akhir ini kita dikagetkan dengan berbagai pemberitaan media mengenai impor sampah dan limbah ke Indonesia yang semakin meningkat. Impor sampah dan limbah yang mencakup serat kertas dan plastik disinyalir untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri. “Pertanyaan yang sederhana. Kalau memang benar sebagai bahan baku, kenapa tidak diolah di Negara asalnya saja yang mana merekapun mengaku sudah menerapkan circular economy?” Kata Presiden Indonesia Solid Waste Association (InSWA), Sri Bebassari saat ditemui di TPS3R Rawasari Jakarta Pusat. Jumat (30/8).
Beliau lebih lanjut mengatakan jika ingin memajukan industri daur ulang, jadikanlah industri tersebut sebagai industri jasa pengolahan limbah, bukan industri jual beli barang bekas. Polluter Pays Principle. Pihak yang membuang limbah harus yang membayar, dan yang mengolah limbah harus dibayar. Sri Bebassari juga mengatakan bahwa karena sampah dianggap sebagai bahan baku maka hal tersebut menjadi celah yang dimanfaatkan oleh Negara maju untuk mengekspor limbahnya ke Indonesia dengan dalih menjadi bahan baku yang harus dibeli.
Terkait dengan hal tersebut di atas dan menindaklanjuti Undangan Bapak Presiden Joko Widodo pada tanggal 18 Juni 2019 kepada Himpunan Pengusaha Mikro dan Kecil (HIPMIKINDO) untuk memberikan masukan mengenai isu-isu strategis Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), maka HIPMIKINDO bekerjasama dengan Perkumpulan Persampahan Indonesia atau Indonesia Solid Waste Association (InSWA) dan Poros Hijau Indonesia Korda DKI Jakarta yang merupakan organisasai profesi non profit di bidang pengelolaan sampah untuk mendorong peran aktif UMKM dalam pengelolaan sampah di Indonesia melalui kegiatan Focus Grup Discussion (FGD) yang diselenggarakan pada tanggal 30 Agustus 2019 di TPS3R Rawasari, Jakarta Pusat. Kegiatan ini dihadiri oleh Kementerian dan lembaga Negara, Pemerintah Provinsi/Kabupaten Kota, Lembaga Masyarakat/NGO/Asosiasi, Perguruan Tinggi/Akademisi, Perusahaan BUMN/BUMD dan Perusahaan Swasta.

Diharapkan dengan adanya Focus Grup Discussion ini akan melahirkan sumbangsih pemikiran Solusi Sampah di Indonesia. Karena akan banyak pihak yang turut terlibat dalam pengelolaan sampah di Indonesia, termasuk para UMKM. Selain keterlibatan perusahaan-perusahaan besar yang berpartisipasi dalam program pengelolaan sampah yang ramah lingkungan dengan hasil sampingannya berupa listrik yakni sesuai dengan Peraturan Presiden nomor 35 tahun 2018 mengenai Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah menjadi Listrik atau yang sering dikenal dengan PLTSa, maka peranan Industri-industri kecil dan mikro ini adalah sebagai Industri jasa di bidang pengelolaan sampah. “Peranan UMKM yang jumlahnya saat ini mencapai 63 juta lebih atau setara dengan 99,7% dari total jumlah pengusaha Indonesia, turut menyumbang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 60,34%, kontribusi terhadap tenaga kerja sebesar 97% sementara kontribusi ekspor sebesar 14,17%.

Syahnan Phalipi, Ketua Umum DPP HIPMIKINDO mengatakan bahwa “Kita harus memaksimalkan peran UMKM agar lebih bertumbuh maju dan sukses menuju Indonesia lebih sejahtera, makmur, berkeadilan secara berkelanjutan”. Menurut beliau, Pengelolaan Sampah adalah problem kita bersama yang sekaligus terdapat opportunity atau peluangnya. Sebaiknya juga melibatkan semua stake holders termasuk UMKM untuk mengelola sampah agar solusi komprehensif tercapai dengan efektif, efisien dan saling menguntungkan.

Perlu diketahui bahwa terdapat 5 (lima) aspek yang harus terintegrasi dalam sistem pengelolaan sampah di Indonesia. Aspek yang pertama adalah Aspek Hukum. Aspek hukum di sini menjadi aspek yang penting dan mendasar dalam penanganan sampah atau limbah. Sehingga dalam penyusunan kebijakan dan perencanaan pengelolaan persampahan memiliki dasar hukum yang kuat. Permasalahan Aspek Hukum meliputi kurangnya sosialisasi mengenai peraturan secara professional, lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggar UU atau Perda tentang Persampahan serta pada saat penyusunan peraturan belum melibatkan semua komponen yang aktif.

Kedua adalah Aspek Kelembagaan. Aspek Kelembagaan meliputi peran dari para stake holder dan pemerintah dalam penanganan sampah sangatlah penting. Pembagian peran dari masing-masing stake holder terkait harus jelas sehingga tidak terjadi tumpang tindih.

Identifikasi permasalahan aspek kelembagaan ini meliputi masih lemahnya koordinasi antar Kementerian atau Lembaga terkait Persampahan dan belum jelas pembagian peran, siapa regulator dan siapa operator. Melihat kondisi pengelolaan sampah saat ini, kiranya perlu dibentuk suatu Badan untuk pengelolaan sampah di Indonesia yaitu Badan Pengelolaan Sampah Nasional (BPSN).
Ketiga adalah Aspek Pembiayaan atau Finansial. Pengelolaan sampah yang benar memerlukan biaya yang tidak sedikit, mulai dari biaya pengangkutan hingga pemrosesan akhir. Permasalahan terkait Aspek Pembiayaan ini bisa kita lihat bahwa alokasi anggaran pengelolaan sampah belum menjadi prioritas baik dalam APBN maupun APBD. Selain itu masih minimnya jumlah retribusi atau iuran sampah.
Aspek yang keempat adalah Aspek Sosial Budaya. Penting bahwa adanya perencanaan pengelolaan persampahan ini tersampaikan kepada masyarakat. Komunikasi yang baik kepada masyarakat perlu dilakukan, Sehingga masyarakat mampu memahami dengan baik dan akhirnya tercipta kebudayaan di masyarakat yang sadar lingkungan. Karena masyarakatpun harus mengambil peran dalam pengurangan dan penanganan sampah di Indonesia, sehingga pengelolaan sampah tidak hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah, namun menjadi tanggung jawab kita bersama. Keberhasilan sistem pengelolaan sampah yang baik bisa dilihat dari mindset dan perubahan pola pikir masyarakat yang peka terhadap lingkungan. Adanya pengelolaan sampah yang baik juga dapat mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan. Sehingga kemudian dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Kelima adalah Aspek Teknologi. Setiap Teknologi memiliki kelebihan dan kekurangan. Tidak ada teknologi yang paling baik atau paling buruk, yang ada adalah teknologi yang paling cocok. Permasalahannya adalah masih minimnya pengetahuan masyarakat mengenai teknologi pengolahan sampah dan teknologi yang digunakan saat ini pun harus disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat setempat.

INSWA

Polemik Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa)

Beberapa hari ini beredar di media sosial ajakan untuk mendukung judicial review terhadap peraturan presiden No. 18/2016 tentang Percepatan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di 7 kota/provinsi: Jakarta, Tangerang, Bandung, Semarang, Makassar, Surabaya, dan Surakarta. Seruan itu berisi kekhawatiran bahwa sampah kota yang dibakar akan memberikan dampak buruk terhadap kesehatan dan lingkungan, dan bertentangan dengan kondisi di Indonesia, regulasi yang ada, dan lain sebagainya.

Sekilas, publik tentu akan langsung bereaksi ikut menentang Perpres tersebut, dan terbukti dari beberapa grup yang saya ikuti, re-tweet dan ajakan untuk mendukung semakin bergulir. Meskipun tetap ada juga yang tidak ikut re-tweet dengan berbagai alasan atau tidak menanggapi sama sekali. Memang demikian adanya media sosial saat ini.

Sebagai individu yang senang belajar tentang sampah, khususnya sampah kota, saya tergelitik untuk menanggapinya. Mudah-mudahan bisa memberikan pandangan yang lebih berimbang.

Pertama, perlu dimengerti terlebih dahulu bahwa yang dimaksud pembakaran sampah dalam Perpres bukanlah pembakaran terbuka seperti jaman dahulu nenek kakek kita membakar sampah di halaman. Atau pembakaran tertutup dengan tungku seperti di rumah sakit atau crematorium yang kapasitasnya kecil dan masih dilakukan feeding (sampah masuk) secara manual. Pembakaran kapasitas kecil semacam ini justru tidak lagi direkomendasikan untuk sampah kota dan terbukti banyak menemui kegagalan (BPPT, 2003).

Pembakaran yang dimaksud dalam Perpres adalah teknologi tinggi yang harus aman, baik prosesnya maupun abu dan emisi gas buang nya. Pembakaran sampah yang dimaksud dilakukan juga di banyak negara termasuk negara tetangga Singapura yang terkenal sangat bersih, dan sedikitnya berfungsi ganda: mengurangi volume sampah hingga tinggal abunya, dan menghasilkan tenaga listrik. Kapasitasnya minimal 1000 ton sampah per hari, dan listrik yang dihasilkan mampu mencapai 10 MW. Bangunan fisiknya mirip seperti mal yang banyak dijumpai di kota besar. Bukan investasi yang sedikit, karena penyedia teknologi nya wajib memiliki lisensi internasional, dan operator nya harus memiliki kompetensi tinggi. Hampir sepertiga dari investasi dialokasikan untuk memastikan emisi gas buang, termasuk dioksin yang sangat ditakutkan itu, aman. Menurut Internasional Solid Waste Association (ISWA) pada laporannya tahun 2013, tercatat lebih dari 1200 PLTSa beroperasi di lebih dari 40 negara di seluruh dunia.

Di Indonesia, pengembangan PLTSa sebenarnya juga bukan hal yang baru. Tahun 1980-an, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) melakukan Studi Kelayakan PLTSa untuk DKI Jakarta. Teknologi thermal pun telah dipilih untuk Intermediate Treatment Facility (ITF) di Sunter, dan proses lelang investasi pun telah dimulai. Demikian pula dengan Bandung. Berbekal kepahitan paska darurat sampah di kota tersebut, dilakukanlah proses lelang PLTSa untuk lokasi Gedebage. Namun proyek-proyek investasi ini tidak berlanjut hingga saat ini, karena berbagai kesulitan yang ditemui.

Kedua, publik juga perlu menyadari bahwa permasalahan sampah kota di Indonesia semakin pelik dan genting, sehingga urgensi untuk teknologi tinggi yang mampu menangani tingginya volume sampah semakin mendesak. Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah di kota-kota metropolitan semakin penuh, padahal lahan semakin terbatas. Jika estimasi setiap orang menghasilkan ‘dosa’ 0.5 kg sampah per hari, maka Jakarta menghasilkan 6000 ton per hari, membutuhkan lebih dari 1000 trip truk sampah, untuk ditimbun di ‘gunung sampah’ seluas lebih dari 120 hektar lahan di Bantargebang.

Bagi kita yang tinggal jauh dari lokasi TPA, mungkin tidak terbayang betapa gawatnya kondisi persampahan saat ini. Tapi ingatkah kita akan tutupnya TPA di Leuwigajah Bandung tahun 2005, yang berdampak pada kondisi kota yang ‘tertimbun’ sampah selama berminggu-minggu hingga ke jalan raya, halaman kantor, sekolah bahkan di depan rumah? Bukan tidak mungkin kejadian itu berulang, khususnya di kota-kota metropolitan dengan penduduk lebih dari 1 juta jiwa.

Instalasi pengolahan sampah skala besar khususnya PLTSa menjadi pilihan logis untuk darurat sampah, karena membutuhkan lahan yang tidak terlalu luas, dan didukung oleh teknologi yang sudah mapan. Pilihan lainnya jika sudah terjadi darurat sampah, adalah peraturan ekstrim bahwa seluruh lapisan masyarakat dilarang (ada sanksi hukumnya) membuang sampah terutama sampah mudah membusuk. Masyarakat harus memastikan untuk mengolah sendiri sampahnya, secara swadaya atau menggunakan jasa pihak lain. Siapkah kita jika ini terjadi?

Ketiga, Perpres ini tidak memberi arti bahwa PLTSa akan serta merta beroperasi dalam 1 – 2 tahun ke depan. Banyak hal yang harus diselesaikan, termasuk studi kelayakan untuk tiap kota/provinsi terpilih tersebut, untuk menentukan go or no go dari proyek PLTSa. Bukan hanya aspek teknisnya, tapi juga kelembagaan dan sosial.

Investasi yang tinggi juga membutuhkan kepastian sumber pembiayaan. Seperti diketahui, meskipun PLTSa dapat memperoleh income dari penjualan listrik, namun biaya pembangunan dan operasional yang tinggi – khususnya jika investasi dilakukan oleh swasta murni – tidak dapat tercukupi tanpa adanya pemasukan dari tipping fee atau jasa pengolahan sampah. Pemerintah masih berpikir ulang untuk memutuskan apakah subsidi dapat dilakukan terhadap proyek PLTSa. Tanpa subsidi, maka retribusi dari masyarakat lah yang harus dikejar untuk memenuhi kebutuhan biaya.

Pertanyaannya sekarang, siapkah kita mereformasi paradigma kita bahwa mengolah sampah tidaklah murah? Tentu banyak pilihan lain yang lebih murah, ramah lingkungan, seperti membuat kompos sendiri di rumah, ikut bank sampah, mendaur ulang, dan lain sebagainya. Tentu, jika penyakit persampahan kita masih sakit ringan dan sedang. Tapi jika sudah stroke, atau kanker, silakan tanyakan pada diri kita sendiri, apakah masih cukup dengan olah raga dan minum suplemen atau antibiotik? Mau tidak mau, suka tidak suka, ikhtiar kita tentu sudah ke level operasi besar, atau kemoterapi, yang memiliki resiko tinggi dan biaya mahal. Demikian juga dengan gawatnya penyakit persampahan kita di kota-kota metropolitan saat ini. Sudah saat nya kita berani ambil keputusan untuk nasib dan masa depan kita bersama. Wallahualam.

Dini Trisyanti

Deputi Peningkatan Kapasitas dan Pendampingan Teknis, Indonesia Solid Waste Association (InSWA)

Direktur, Sustainable Waste Indonesia (SWI)

MERUBAH PERILAKU SENANG MEMILAH DAN MENGOLAH SAMPAH

Suatu tantangan sangat berat mampu merubah perilaku dari masa bodoh, membuang sampah sembarangan dan tidak peduli terhadap keberadaan sampah hingga senang memilah dan mengolahnya. Bahkan mau melakukannya dari rumah dengan tangannya sendiri.

Upaya ubah perilaku dan culture tersebut ada yang butuh waktu 40 tahun, 100 tahun seperti Jepang. Bahkan lebih lama lagi. Sebelum muncul budaya cinta pilah dan olah sampah, mereka membuat kebijakan dengan produk peraturan perundangan dan action plan yang dilakukan secara terencana, bertahap, ketat dan berkelanjutan.

Bagaimana dengan kondisi pengelolaan sampah dan kultur masyarakat kita? Sejak lama dalam religi, dan juga teologi diajarkan tentang kebersihan. Bahkan kebersihan itu bagian dari iman. Namun policy dan perundangan tentang Pengelolaan Sampah baru disahkan pada April 2008, dikenal dengan UU No 18/2008. Kemudian baru muncul PP No 81/2012, waktu cukup lama.

Perilaku dan budaya pilah dan olah sampah belum terbentuk. Kita serba kedodoran kelola sampah, terutama metropolitan dan kota besar di Indonesia. Sampah dari hulu hingga hilir masih jadi permasalahan pelik dan kompleks. Bahkan seringkali terjadi polemik dan konflik. Perilaku dan culture kita belum bisa menerima budaya bersih secara total, padahal menginginkannya.

Setelah perilaku dan cultur kita terlembagakan menjadi bentuk keharusan, maka pilah dan olah sampah pun tanpa harus diperintah, apalagi ditekan. Semua menjadi sangat sadar. Selanjutnya memilih teknologinya: composting, recycling, incinerasi, waste to energy, sanitary landfill, dll.

Ketika menghadapi situasi yang sangat berat, jumlah volume sampah sekitar 8.000 ton//hari, kondisi sampah tak terpilah sementara tumpuk sampah di TPA semakin banyak dan menggunung serta zona semua penuh, pemerintah harus punya opsi cepat. Yaitu pilih teknologi yang dapat kurangi sampah secara massal guna memotong kondisi darurat sampah. Hulu dan hilir darurat sampah?!

Pilihan bijaksana adalah memanfaatkan teknologi insenerator canggih. Dengan volume sampah di atas perlu bangun 3-4 unit insinerator, dengan masa operasional 30-40 tahun. Baru kemudian dibangun insinerator baru.

Setidaknya situasi darurat dapat diatasi selama jangka waktu 30-40 tahun. Sehingga kita punya waktu membuat perencanaan pengurangan sampah dan program 3R (reduce, reduce, recycle). Program insenerator atau waste to energy (WtE) merupakan program jasa kebersihan dan menghasilkan listrik. Tetapi kita jangan menggembar-gemborkan listrik dari sampah. Listrik hanya produk sampingan.

Sesungguhnya yang diutamakan adalah jasa kebersihan, dan kebersihan merupakan modal investasi suatu kota. Kota yang bersih, aman dan peduli lingkungan akan didatangi banyak investor. Kota bersih merupakan cermin dari perilaku dan kultur atau peradaban manusia dan kota yang sudah maju atau modern.

Jika kita mampu mengatasi permasalah sampah berarti telah mencapai kemajuan beberapa langkah pada peradaban modern. Dalam konteks agama telah mencapai keyakinan tingkat tinggi dan kafah. Kapan kita dapat mewujudkan kota dan lingkungan bersih, indah dan sejuk?

Bagong Suyoto, Ketua Umum Asosiasi Pelapak dan Pemulung Indonesia (APPI)

Implementasi lima aspek dalam pengelolaan sampah

Kolaborasi Super Indo dan InSWA Sudah Kurangi 4 Juta Lembar Kantong belanja Plastik Setiap Tahun

Pengelolaan sampah yang baik dan benar di kalangan masyarakat menjadi salah satu perhatian besar bagi kita semua. Indonesia Solid Waste Association (InSWA) bersama Pusat Pengembangan Riset Sampah Indonesia (PERISAI), bekerjasama dengan Super Indo menyelenggarakan Workshop ‘Bijak Kelola Sampah 2018’, pada Sabtu (14/07), di TPS 3R Rawasari, Jakarta pusat

Workshop yang diselenggarakan selama satu hari penuh itu diikuti oleh peserta dari komunitas Super Indo Berkebun Tangerang Selatan dan Bekasi dan associates sebanyak total 28 orang

Bertindak sebagai pemateri ialah Ketua Umum InSWA Sri Bebassari, Ketua Umum Perisai Nurina Aini Herminindian dan Abdul Khamim yang merupakan sekretaris umum Pusat Pengembangan Riset Sampah Indonesia

Diharapkan, dengan adanya workshop tersebut, para peserta mampu menjadi pelopor di tengah masyarakat  sebagai agen perubahan untuk mengelola sampah dengan bijak. “Harapannya setelah mendapatkan ilmu bisa dibagikan ke komunitas dan masyarakat sehingga bisa jadi agen perubahan kelola sampah dengan bijak,” ujar Head of Corporate Affairs and Sustainability Super Indo Yuvlinda Susanta.

Bagi InSWA sendiri, workshop tersebut memiliki nilai yang penting dalam upaya menumbuhkan rasa peduli dalam mengelola sampah di kalangan masyarakat. Pasalnya, bijak dalam mengelola sampah harus didasari rasa peduli dari dalam diri sendiri.

“Hal yang paling utama adalah kepedulian itu sendiri, sebab tidak peduli terhadap sampah justru akan memunculkan masalah yang lain. Hadirnya para peserta dalam workshop ini secara tak langsung turut berkontribusi dalam mengurangi sampah dan ilmu yang sudah didapat dalam workshop ini bisa diterapkan di lingkungan sekitar,” ungkap Sri.

Adapun dalam kegiatan workshop tersebut, peserta diberikan materi berupa informasi mengenai pengelolaan sampah dengan bijak  dan mendapat pelatihan singkat membuat pupuk kompos dari sisa sayuran dan makanan, serta membuat kertas daur ulang dari sampah.

Para peserta tampak antusias mengikuti pelatihan dan bersemangat mempelajari pengelolaan sampah dengan baik dan benar sehingga bisa mengelola sampah-sampah yang berasal dari barang tidak berguna menjadi sesuatu yang bernilai.

Salah satu peserta workshop, Abdul Azis dari Bekasi mengatakan, pelatihan semacam ini dinilai penting untuk mengajak masyarakat lebih peduli terhadap sampah. Ia pun berharap ilmu yang didapat bisa diimplementasikan di lingkungan masing-masing. “Apa yang saya peroleh dalam pelatihan ini sangat bermanfaat dan saya ingin mengimplementasikan ke lingkungan tempat tinggal saya,” kata pria yang juga menjadi peserta workshop terbaik ini.

Kolaborasi untuk mengurangi sampah

Kerja sama antara Super Indo dan InSWA tercatat sudah memasuki tahun kelima dan sudah membuahkan hasil yang terbilang baik. Kolaborasi antara Super Indo dan InSWA ini mampu mengurangi sampah sebanyak 4 juta lembar plastik setiap tahunnya. “Hingga tahun lalu kita sudah mampu mengurangi 4 juta lembar kantong plastik per tahun dan tahun ini melebihi angka tersebut,” ungkap Sri. Menurutnya pengurangan sampah secara besar-besar diperlukan upaya kolaborasi dari berbagai kalangan termasuk pemerintah dan pelaku bisnis seperti Super Indo. Kepedulian yang ditunjukkan oleh Super Indo dalam menjaga keberlanjutan lingkungan lewat pengelolaan sampah dinilai penting untuk lingkungan.

“Masyarakat bisa diajak untuk bisa peduli terhadap sampah, namun yang terpenting adalah peran pemerintah dan pelaku bisnis. Salah satunya apa yang sudah dilakukan oleh Super Indo ini. Sangat baik dan semoga bisa menjadi inspirasi bagi pelaku bisnis lainnya,” tutup Sri.

Bijak Kelola Sampah sejak dini ala Sekolah Alam Cikeas


28 Februari 2018 di pagi hari sudah terparkir sebuah bus di depan Kantor Suku Dinas Lingkungan hidup Jakarta Pusat. Puluhan anak berseragam khas lapangan terlihat berhamburan dengan tentengan masing-masing; sepatu booth, topi, kaus tangan, dan masker. Hari itu adalah hari pertama anak-anak SMP kelas VII Sekolah Alam Cikeas ini melaksanakan Project Based Learning (PBL) angkatan ke-5, semacam program kerja lapangan yang dilakukan di setiap semester, di Tempat Pengolahan Sampah 3R Rawasari, Jakarta Pusat.

Selama dua hari mereka akan menghabiskan waktu dari pagi hingga menjelang sore serta menginap di TPS 3R Rawasari untuk mengerjakan projek yang mereka sebut Pengelolaan Sampah Skala Kawasan. Bisa dibayangkan betapa hebatnya mereka sampai rela menginap di Tempat Pengelolaan sampah. Tapi tunggu dulu, TPS 3R Rawasari bukan hanya sekedar “TPS biasa” tapi merupakan TPS bintang lima yang fasilitasnya cukup lengkap, ada Tempat pelatihan, kantor dan juga dilengkapi dengan Toilet bersih dan Musholla, dan yang paling penting TIDAK BAU sehingga mereka merasa tidak sedang di Tempat pengolahan sampah.

Semua aspek pengelolaan sampah di skala kawasan akan mereka kaji; mulai dari aspek

teknologi, kelembagaan, pembiayaan, sosial budaya, hingga aspek peraturan.

Ya, tujuan utama anak-anak ini memang TPS 3R Rawasari, yang berlokasi tepat di depan Kantor Suku Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Pusat, bersebelahan dengan Kantor Pemadam Kebakaran sektor V Kecamatan Cempaka Putih, namun tempatnya memang agak menjorok sedikit ke dalam. Ketika masuk ke halamannya yang berdekatan dengan pintu masuk, barulah terlihat plang informasi TPS 3R Rawasari.

Kalau dilihat sepintas dari jalan, tidak ada yang bakal tahu kalau di kawasan kurang dari 1000 m2 ini setiap hari siap menerima berton-ton sampah dari masyarakat untuk diolah menjadi kompos. Maka sudah siap dengan segala ‘alat tempur’ keselamatan kerja, mereka akan belajar menjadi pengelola sampah.

Pada hari Pertama para siswa dari Sekolah Alam Cikeas ini menikmati Betapa serunya menjadi aktor petugas kebersihan dengan dibagi menjadi dua kelompok. Diawali dengan Materi pengetahuan tentang pengelolaan sampah yang disampaikan oleh Bp. Abdul Khamim dari Indonesia Solid Waste Association mereka mengikuti dengan serius, untuk selanjutnya langsung terjun ke permukiman menggunakan gerobak sampah milik RT guna mengambil sampahnya dan selanjutnya mereka pilah mana yang masih dapat dimanfaatkan, dikomposkan dan mana yang tidak dapat dimanfaatkan atau residu, mereka begitu antusias ketika mendapati fakta bahwa dari sampah yang mereka kumpulkan dari gerobak kelompok pertama mendapatkan hasil Rp 11.000,- dan dari kelompok ke-2 Rp. 14.000,-selanjutnya mereka mengikuti proses pembuatan kompos sampah domestik; mulai dari, menimbang, mencacah, membalik, menyiram,hingga memanen kompos.

Pada jam satu siang teng, setelah istirahat untuk sholat dan makan siang, selanjutnya para siswa mengikuti praktek pembutan kompos dengan metode Osaki serta pembuatan kompos dengan menggunakan tong komposter skala rumah tangga.

Pada hari ke.2 para siswa diajarkan bagaimana cara memanfaatkan sachet bungkus kopi untuk dijadikan kerajinan tangan dan dilanjutkan dengan praktek pembuatan kertas daur ulang

Project Based Learning dari sekolah Alam Cikeas ini sudah berlangsung secara rutin sejak tahun 2014 ningga saat ini dan merupakan pioner yang juga diikuti sekolah sekolah lain seperti Sekolah Alam Bintaro, Sekolah Noah dan masih banyak yang lainnya.

Sebuah pengalaman seru yang tidak bakal terlupakan.