Menuai Kebajikan Melalui Kepedulian (Menyambut Hari Peduli Sampah Nasional, 21 Februari 2017)

Hujan turun rintik-rintik saat aku memasuki lorong kecil yang rimbun di pagi hari itu.  Sekilas tercium sedikit bau busuk dari sampah yang baru datang, menumpuk di halaman sebelah. Tapi begitu masuk ruang pertemuan yang terang benderang, dengan suhu ruangan ber AC yang nyaman, tidak ada lagi bau busuk, apalagi lalat. Itulah kesan pertama yang kurasakan sewaktu mengunjungi lokasi tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) Rawasari yang terletak di Jl. Rawasari Selatan, dekat Kantor Kecamatan Cempaka Putih, Jakarta Pusat beberapa hari yang lalu.

Sampah yang dihasilkan warga sekitar diolah di TPST Rawasari menjadi kompos dan barang-barang bermanfaat lainnya, seperti taplak meja, tas, dan berbagai wadah yang cantik, sisanya baru dibuang ke tempat pengolahan akhir atau TPA. Yang menarik, tidak ada bau sama sekali dan sergapan lalat seperti kita temui pada pengolahan sampah di tempat lain yang baunya menyengat dan lalat beterbangan. Halaman yang digunakan untuk mengolah sampah tampak bersih, bersebelahan dengan kebun yang asri dengan berbagai tanaman yang rindang, sehingga pengunjung tidak merasa berada di tempat pengolahan sampah.

Adalah Sri Bebassari, seorang penggiat pengolahan sampah, yang menjadikan TPST Rawasari menjadi menarik. Apa resepnya? “Jangan biarkan sampah menginap”, kata Sri yang akrab dipanggil Enchi. “Begitu datang, sampah langsung dipilah, sampah daun dicacah dulu, dan sampah bukan organik dipisahkan, dengan demikian sampah tidak sempat membusuk dan bau”, kata perempuan paruh baya yang dijuluki Ratu Sampah itu. Berkat kerja kerasnya, Sri, yang lulusan Teknik Penyehatan (sekarang Teknik Lingkungan) ITB tahun 1979 tersebut, mendapatkan Kalpataru Kategori Pembina Lingkungan pada tahun 2015, penghargaan tertinggi dari pemerintah untuk para penggiat yang peduli pada lingkungan.

Sri bercerita bahwa TPST itu dulunya adalah proyek percontohan yang dibuat oleh BPPT sewaktu dia bekerja dulu, untuk pengolahan sampah terpadu skala lingkungan. Setelah diserahterimakan ke Pemda DKI, ternyata proyek tersebut terbengkalai, mangkrak dan tidak jelas keberlanjutannya. Dengan memanfaatkan jabatannya sebagai Ketua Umum Indonesia Solid Waste Association (InSWA), Sri kemudian membuat Kesepakatan Kerjasama (MoU) antara InSWA dengan Pemda DKI, untuk melanjutkan pengoperasian TPST tersebut, yang berlanjut sampai sekarang.

Saat ini TPST mengolah 2 ton sampah setiap hari dari lingkungan sekitarnya, dari kapasitas penuhnya sebanyak 4 ton perhari. Seharusnya, kata dia, Pemprov DKI membayar tipping fee kepadanya untuk setiap ton sampah yang dia olah, tapi pada kenyataannya dia harus mencari berbagai cara agar TPST eksis dan terus berjalan. Sebagian dari peralatan kantor dan fasilitas di TPST ini berasal dari barang-barang milik Sri sendiri yang dia boyong dari rumahnya, sebagian lain berasal dari sumbangan sukarela dan hasil kerjasama dengan beberapa fihak dalam program CSR. Sri sedang menuai kebajikan melalui kepeduliannya terhadap pengolahan sampah.

Memang, bagi kebanyakan pemerintah daerah, pengolahan sampah masih belum mendapat prioritas tinggi, kalah dengan pembangunan sarana kota lainnya. Menurut Sri, apabila kota diibaratkan sebagai rumah, maka kita sudah mampu membuat ruang tamu yang mewah sekelas lobi hotel bintang lima, tapi untuk urusan belakang, limbah dan sampah, sebagian besar dari kita masih belum peduli. Masih banyak pemerintah daerah yang belum mampu mengelola sampahnya dengan baik, karena dana yang disediakan untuk mengelola sampah masih jauh dari cukup.

Dari aspek pengaturan, kita masih tertinggal dari Jepang dan Singapura misalnya, yang telah lama memiliki peraturan perundangan tentang sampah. Di Jepang, peraturan tentang sampah sudah berumur 100 tahun. Kita masih bersyukur karena, meskipun sudah sangat terlambat, kita sudah memiliki undang undang tentang sampah dengan diterbitkannya UU No 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Peran Sri dalam penerbitan UU tersebut ternyata juga tidak kecil, mulai dari melobi anggota DPR sampai menulis surat langsung kepada Presiden SBY waktu itu. Kebetulan Sri pernah diminta ikut dalam rombongan SBY sewaktu kunjungan kerja ke Shanghai, China.

Menurutnya lagi, dalam masalah sampah, diluar aspek pendanaan dan peraturan, kita terlalu banyak berkutat pada aspek teknologi, tapi melupakan aspek penting lainnya yaitu kelembagaan dan sosial budaya. Dan diatas segalanya, niat atau bahasa kerennya: political will dari para elit politik di daerah masih rendah, padahal itu menjadi penentu berhasil tidaknya pengelolaan sampah yang baik.

Ditanya kenapa tertarik dengan sampah, Sri mengatakan bahwa yang belajar sampah di dunia ini tidak sampai 1 persen, sementara yang buang sampah itu semua orang, atau 100 persen. Jadi mengelola sampah itu benar-benar memerlukan kepedulian, ketekunan dan kecintaan. Itulah yang menjadi pendorong semangat perempuan kelahiran Bandung pada 28 Juni 1949 itu untuk menghabiskan waktunya menekuni pengolahan sampah dengan melakukan berbagai percobaan, jauh sebelum berdirinya InSWA pada tahun 2003.

Banyak dari kita yang mungkin belum tahu bahwa hari ini (21 Februari 2017) adalah Hari Peduli Sampah. Tanggal tersebut diambil dari peristiwa tragis terjadinya longsor di TPA Leuwi Gajah pada tahun 2005, yang menelan ratusan korban meninggal dan dua kampung adat hilang dari peta. Sejak itu, tanggal 21 Februari dijadikan sebagai Hari Peduli Sampah Nasional.

Lalu, apa artinya penerbitan UU tentang sampah dan ditetapkannya tanggal 21 Februari sebagai Hari Peduli Sampah bagi kita? Andalah yang harus menjawabnya. Yang jelas, sampah ternyata bisa dikelola dengan baik apabila kita peduli, dan ada niat, sesederhana itu.

 

Salam Kompasiana

 

 

Sumber : Kompasiana

http://googleweblight.com/?lite_url=http://m.kompasiana.com/rissukarma/menuai-kebajikan-melalui-kepedulian-menyambut-hari-peduli-sampah-nasional-21-februari-2017_58ab5de0927a61080ef56079&lc=id-ID&s=1&m=365&host=www.google.co.id&ts=1487629495&sig=AJsQQ1CvvVHefJOuotbKrHD9GPsLaQqEIA

SUPER INDO DAN InSWA GELAR PELATIHAN BIJAK KELOLA SAMPAH

Bandung, 10 Maret 2016 – Super Indo bekerja sama dengan Yayasan PERISAI dan Indonesia Solid Waste Association (InSWA) mengadakan kegiatan workshop pengelolaan limbah rumah tangga. Kegiatan berlangsung di Bumi Samami Jalan Terusan Cigadung No. 15, Tubagus Ismail, Bandung, dan diikuti oleh pelanggan-pelanggan setia Super Indo dan berbagai institusi terkait tanpa dipungut biaya. Pelatihan ini merupakan lanjutan kegiatan pelatihan pertama yang diselenggarakan di TPS 3R Rawasari Jakarta Pusat pada bulan Desember 2015 yang juga diikuti oleh pelanggan Super Indo di wilayah Jakarta

 

Program ini sejalan dengan komitmen Super Indo untuk mewujudkan lingkungan yang lebih hijau, bersih dan berkelanjutan. Seperti dikatakan oleh Yuvlinda Susanta, Department Head Corporate Communication & Sustainability “Super Indo telah menjalin kerjasama dengan Yayasan Perisai dan InSWA dalam hal edukasi kelola sampah secara bijak sejak 2013. Selain itu, Super Indo juga telah menjalankan berbagai inisiatif pengelolaan sampah seperti komposting, kampanye pengurangan penggunaan kantong plastik melalui pemberian insentif kepada pelanggan, menerapkan ujicoba plastik tidak gratis, mendaur ulang minyak jelantah menjadi bio diesel, food donation, dan juga memanfaatkan sisa buah dan sayur menjadi pakan hewan.” Tujuan workshop pengelolaan limbah rumah tangga secara mandiri ini adalah untuk mendukung terwujudnya lingkungan yang lebih bersih, khususnya di tingkat rumahan. Limbah bisa ditransformasi menjadi kompos ataupun kerajinan tangan yang bernilai ekonomis. Pemaparan dan pelatihan dilakukan oleh tim Indonesia Solid Waste Association, organisasi nirlaba yang bergerak di bidang manajemen dan riset sampah padat di Indonesia. Dalam kegiatan tersebut, para peserta memperoleh kesempatan untuk belajar dan mempraktikkan secara langsung pengelolaan limbah rumah tangga.

 

 

Pelatihan ini diselenggarakan sebagai bentuk pertanggung jawaban Super Indo dan Yayasan Perisai dalam mengelola donasi pelangggan. Selama ini, pelanggan yang memilih untuk tidak menggunakan kantong plastik, berhak menerima insentif berupa cash back yang bisa menjadi diskon atau dapat di donasikan. Selama tiga tahun menjalin kerjasama terkumpul dana lebih dari Rp 166 juta yang disalurkan kepada Yayasan Perisai dan InSWA untuk program bijak kelola sampah. Super Indo percaya akan semakin banyak lagi pelanggan yang peduli terhadap pelestarian lingkungan melalui pengelolaan sampah.

InSWA Focus Group Meeting “Waste to Energy in Low and Middle Income Countries”

TPS 3R Rawasari, 5 November 2014

TPS 3R Rawasari, Jakarta, 5 November 2014

Pada tanggal 5 November 2014, Indonesia Solid Waste Association (InSWA) menyelenggarakan forum diskusi yang dihadiri oleh lebih dari 30 orang yang merupakan perwakilan dari kementerian/badan, pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, lembaga donor, dan perusahaan swasta. Forum ini juga dihadiri oleh perwakilan dari International Solid Waste Association (ISWA) yaitu Hermann Koller selaku Managing Director dan perwakilan Waste Management Association of Malaysia (WMAM) yaitu Ho De Leong selaku Ketua. Focus Group Meeting ini berlangsung selama 2 jam lebih, dengan difasilitasi oleh moderator Dini Trisyanti dari InSWA, yang juga menyusun dan mensarikan catatan diskusi (minutes of meeting) ini.

Berikut adalah catatan diskusi dari forum ini:

Perwakilan Kementerian ESDM (Ibu Riska) menjelaskan bahwa program WtE dari sampah kota mendapat perhatian utama, dimana dilakukan pilot project Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Palembang. Project ini berupa pemanfaatan landfill gas di TPA Sukawinatan menjadi listrik, yang saat ini dalam tahap proses lelang. ESDM masih menerima beberapa usulan dari kabupaten dan kota untuk membangun PLTSa, serta lebih mendorong pihak swasta yang ingin membuat PLTSa dari landfill gas.

InSWA (Bapak Guntur Sitorus) menjelaskan bahwa isu WtE sudah sangat populer di Indonesia, namun lebih kepada wacana indah yang realisasinya masih sangat jauh dari harapan. Masih banyak yang beranggapan bisnis WtE menguntungkan karena bisa menjual listrik. Padahal kenyataannya, hasil penjualan listrik tidak sebanding dengan biaya investasi (capex) dan operasional (opex) yang dibutuhkan. Dari aspek pendanaan, menarik atau tidaknya untuk berinvestasi dan bekerjasama untuk implementasi WtE – khususnya incinerator skala kota – masih menjadi permasalahan. Dibandingkan dengan infrastruktur air minum atau jalan, misalnya, investasi di pengelolaan sampah masih sedikit peminat swastanya. Pihak Bank masih perlu benchmark yang cukup untuk dapat meminjamkan dana kepada swasta sector persampahan.

Dari aspek peraturan, kurang adanya harmonisasi antar regulasi. Misalnya untuk skema build, operate, transfer atau BOT, di satu sisi ada tipping fee yang dibayarkan kepada pengelola, tapi disisi lain ada regulasi tentang asset dimana diwajibkan pengelola membayar kontribusi untuk menggunakan lahan pemda. Belum lagi pemikiran yang masih kurang tepat tentang tipping fee. Misalnya dalam desain insinerator di Bandung dengan tipping fee Rp. 350 ribu dikatakan sangat mahal. Padahal nilai itu tidak sebanding dengan harga yang ada di negara lain. Padahal mahal atau tidaknya dinilai berdasarkan teknologi yang digunakan. Proses tender pun sangat berliku- liku, misalnya di DKI Jakarta yang sudah 3 tahun tender tapi belum juga ada pemenangnya.

Hal lain yang juga perlu diluruskan adalah pemahaman WtE yang masih tercampur antara instalasi incinerator skala kota dan instalasi landfill gas. Jumlah 400-an TPA di Indonesia yang sangat banyak sebenarnya sangat berpotensi untuk WtE. Untuk WtE landfill gas, kesulitan juga muncul bagi swasta yang diminta untuk menjamin nilai minimum listrik yang dihasilkan. Padahal gas dari TPA sangat tidak stabil dan pengalaman di Bantargebang menunjukkan over-estimasi potensi yang cukup jauh(16 MW estimasi, realisasi hanya 3-4 MW).

Ditambahkan oleh perwakilan dari DIM, mitra swasta dari Trade Cooperation Facility – Uni Eropa (Ibu Handayani), bahwa selama kurun waktu tahun 2013 – 2016 terdapat beberapa kegiatan WtE di Indonesia, mengajak 6 kota termasuk diantaranya Batam. Study visit ke Amsterdam (Belanda) dan Boras (Swedia) juga dilakukan, dilanjutkan dengan Waste to Energy Week di Yogyakarta. Para technology provider juga telah diundang, dan Bappenas sebagai otoritas terkait Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) juga dilibatkan, serta lembaga pendanaan infrastruktur. Beberapa concern yang muncul diantaranya contoh kasus di Batam tahap Pre-Qualification pun sempat diulang, dan bahwa PLN Batam tidak bersedia mengikuti tariff yang ditetapkan ESDM. Sedangkan di Surakarta sudah 4 tahun tender belum tuntas, karena Pemda menyatakan tidak ingin ada tipping fee, sehingga tidak ada perusahaan yang ingin join. Update terakhir, tender dilakukan ulang dengan spesifik teknologi yang diharapkan adalah thermal, berhubung TPA sudah over capacity. Kompleksitas masalah semakin terlihat karena sulitnya meyakinkan walikota untuk mendukung. Oleh karena itu, disarankan agar menekankan pada merubah mindset para pejabat.

Usulan solusi juga disampaikan, bahwa selain harmonisasi regulasi di tingkat nasional/kementerian, juga perlu adanya kolaborasi di tingkat municipal (kota) untuk memiliki fasilitas WtE regional sehingga lebih menjamin suplai bahan baku sampah. Di Belanda hal ini sudah dilakukan, dimana satu fasilitas incinerator kota digunakan oleh 50-an kota.

Sementara itu, pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Bapak Akbar) menjelaskan juga bahwa concern nasional terhadap persampahan telah tertuang di UU No. 18/2008, dimana semua pemerintah dituntun untuk melakukan inovasi dalam penanganan persampahan. Beberapa program yang mendukung hal tersebut adalah Adipura Kencana, Sustainable City (diantaranya Tangerang, Balikpapan, Lamongan, Kota Malang) yang telah melakukan waste to energy.

Direktorat Permukiman Bappenas melalui perwakilannya (Bapak Aldy Mardikanto) menerangkan bahwa arah pembangunan persampahan yang termasuk RPJMN sedang disusun untuk tahun 2015 – 2019. Secara garus besar, 5 tahun ke depan diharapkan target akses sanitasi mencakup 100%, dimana untuk standar pelayanan minimum persampahan 85%, dan 15% untuk wilayah rawan sanitasi rendah. Standar pelayanan tersebut masih seputar cakupan pengangkutan, dan penyediaan landfill. Sering ditemukan di daerah, permasalahan sanitasi bukan karena dana yang kurang, tapi komitmen yang kurang. Namun demikian Bappenas juga mendorong akses yang semakin terbuka informasi bagi Pemda mengenai peluang teknis dan pendanaan dari pihak yg terkait, termasuk WtE ini. Bappenas juga mengkoordinir Pokja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL), dimana hampir seluruh Pemda menjadi anggota, dan sudah ada Strategi Sanitasi Kota (SSK) yang dirumuskan oleh 450-an Kabupaten/Kota.

Adapun Kementerian Pekerjaan Umum (Ibu Anna) menjabarkan bahwa fokus program persampahan mengarah kepada TPA dan fasilitas 3R, ketimbang kepada incinerator. Pemerintah daerah dinilai masih sangat bergantung pada APBD, dan komitmen daerah untuk pendanaan persampahan juga masih minim. Alokasi pendanaan diperkirakan hanya 2 – 5 % saja dari total APBD. PU juga menambahkan bahwa sejak 2007 telah membangun TPS 3R berbasis masyarakat, namun diperkirakan hanya 35% saja yang berjalan dari seluruh lokasi yang dibangun. Terkait incinerator, PU menilai dana operasional dan pemeliharaan yang tinggi masih sulit untuk dijalankan oleh pemerintah daerah.

Permasalahan PLTSa di Bandung dijelaskan secara singkat oleh perwakilan Ikatan Alumni Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung (IATL ITB) yang juga termasuk dalam jaringan Bandung Juara Bebas Sampah (Ibu Maya). Persoalan semakin rumit karena juga terkait social dan komunikasi. Bukan hanya bagaimana cara berkomunikasi, tapi apa yang menjadi materi komunikasi juga sangat minim diinformasikan dari pemerintah terkait. Saat dilakukan forum untuk membahas masalah ini, terdapat 2 kubu kelompok masyarakat menyuarakan protes dan demonstrasi. Namun hingga di akhir event forum tidak terdapat kesimpulan, dan kesiapan pihak swasta dan pemerintah dalam memberikan informasi khususnya terkait teknologi masih kurang. Selain di Bandung, di Kota Bogor pun muncul penawaran-penawaran teknologi dari investor swasta, yang menclaim dapat memproses sampah dengan sangat menjanjikan dan biaya murah. Disayangkan pula regulasi yang sudah ada masih minim implementasinya, termasuk masih cukup banyaknya TPA yang masih open dumping di Indonesia.

Perwakilan dari PT. PLN (Bapak Andrew Cahyo Adi) menjelaskan bahwa project bioenergy sudah dilakukan terhadap biomass, dan cukup berhasil. Sampah kota, meskipun termasuk bioenergy namun memiliki banyak perbedaan karena menyangkut pelayanan public. Apakah project WtE dari sampah kota dapat menjadi project komersial, sangat penting dan menarik untuk diketahui. PLN juga memberikan tanggapan terkait penolakan teknologi incinerator sampah yang muncul di Bandung. Beberapa alasan penolakan sulit untuk dimengerti, dan lebih kepada kesalahan pemahaman. Misalnya dikatakan adanya masalah di operasional, dimana operator tidak bekerja dengan benar dan dibawah standard. Jika demikian maka yang diperlukan adalah pelatihan dan pembekalan yang lebih baik kepada para operator, dan bukan kemudian mempertanyakan dan mempermasalahkan teknologinya. Toh persoalan operasional lazim terjadi juga di fasilitas persampahan, termasuk TPA Bantar Gebang. Dalam project landfill gas to energy, output energy yang diperoleh ternyata jauh dibawah yang diperkirakan. Selain itu, terdapat juga TPA yang tidak secara eksplisit mengintegrasikan fasilitas pembangkit energi (power plant) dengan produksi listrik (electricity production), seperti klausul kontrak antara pengelola swasta dan Pemprov DKI di Bantargebang. Hal ini tentu membingungkan bagi PLN dalam proses pembelian listrik yang dihasilkan. Hal lain yang juga menjadi pertimbangan utama PLN dalam analisis WtE project nya adalah penggunaan teknologi yang proven, dalam hal ini bukan hanya teruji metodologinya, tapi juga jumlah aplikasi dengan kapasitas yang serupa.

Terkait instalasi pembangkit listrik dan harga listrik, perlu diperhatikan misalnya kekhususan daerah seperti Batam, dan prosedur legalisasi jika terkait subsidi, yang sebagian juga masih dibahas secara internal di PLN. PLN menggarisbawahi bahwa sumber daya energy sangat terbatas, sehingga terwujudnya WtE sangat diharapkan. Informasi yang proporsional mengenai WtE incinerator sangat perlu diberikan kepada masyarakat. Fokus juga diusulkan diberikan kepada kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, agar alokasi sumber daya yang ada dapat diprioritaskan. Forum diskusi juga mengusulkan agar bantuan PLN terkait sanitasi dapat menjangkau Kota/Kabupaten secara lebih luas lagi.

InSWA kembali menambahkan bahwa dengan identifikasi masalah yang semakin lengkap, harapannya tentu langkah yang diperlukan semakin jelas, atau justru bisa berlari kencang mengerjar ketinggalan. Poin terpenting adalah jangan terus menyederhanakan waste energy. Solusi penting pertama adalah aturan main. Diantaranya perlu diperjelas dan dibedakan antara landfill to energy (LFtE) dan WtE incinerator, karena keduanya memerlukan perlakuan berbeda. Misalnya untuk LFtE, perlu aturan main sehingga mindset walikota tentang WtE bukan menganggap sebagai penambah PAD, tapi justru ada alokasi tambahan APBD persampahan karena terkait SOP yang harus ditaati. Sedang WtE incinerator membutuhkan pendekatan edukasi yang extra agar dapat diterima oleh masyarakat.

Solusi berikutnya adalah pendanaan, agar APBD persampahan dan political will menjadi naik prioritasnya. Bantargebang dan Bali adalah laboratorium riil yang menunjukkan bahwa kebutuhan capex dan opex untuk TPA jauh melebihi hasil penjualan listrik dll, sehingga investasi bisnis tidak mungkin berhasil tanpa tipping fee. Teknologi sudah cukup dikuasai oleh tenaga local, namun ketika pengajuan dana kepada Bank, seringkali gagal karena feasibility business nya. Di Bantargebang bisa terjadi investasi swasta karena skema-nya bukan konvensional Bank memberi pinjaman, namun lebih karena kapasitas Bank sebagai pemilik (pembeli) perusahaan operator.

Perwakilan GIZ (Bapak Gan Gan Dirgantara) menjelaskan bahwa terkait WtE, sedang berjalan project VNAMA (Vertically Integrated Nationally Appropriate Mitigation Action), dimana GIZ bekerja untuk menangani efek gas rumah kaca dari pengelolaan sampah. Berdasarkan dialog dengan dan antar stakeholder, diketahui masih adanya ketidakjelasan regulasi terkait WtE, khususnya landfill gas to energy. Concern otoritas teknis persampahan terbatas pada tanggung jawab penanganan landfill hingga menangkap gas metana yang dihasilkan dan melakukan flaring. Padahal gas metana memiliki banyak potensi untuk dimanfaatkan sebagai gas ataupun listrik. Regulasi yang ada masih terkotak kotak di KLH, PU, dan ESDM. Ketiga kementerian tersebut perlu bersinergi dahuiu. Dalam sisi teknis banyak kegagalan, contohnya banyak.

Kota yang bermitra dengan VNAMAs GIZ ada 5, yaitu Kota Kendari, Malang, Pekalongan (Kota dan Kabupaten), Jambi, dan Sidoarjo. Di Kendari dan Malang, pemerintah daerah sudah melakukan upaya pemanfaatan gas dari TPA yang berjalan cukup baik. Kendari memperoleh Adipura setelah sebelumnya berperingkat rendah, sehingga TPA menjadi kebanggaan Walikota yang sering melaksanakan rapat resmi pemda di TPA. Di Malang, gas TPA digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak bagi ratusan rumah tangga. GIZ mempelajari bahwa selain kontinuitas gas dari TPA yang sulit terjamin, berdasarkan diskusi dengan PU juga diperoleh informasi bahwa luas sel TPA minimum yang dapat feasible secara finansial untuk LFtE adalah 6 ha. Dari 400 an jumlah TPA di Indonesia, diperkirakan hanya 30-an yang dapat memenuhi kriteria luas tersebut.

Perwakilan APEKSI (Bapak Teguh) menyampaikan bahwa terkait WtE, belum ada program khusus, namun APEKSI pernah memfasilitasi kerjasama antara Kota Palu dengan Kota Boras di Swedia tahun 2012. Secara umum, dalam sektor pengelolaan sampah, peran APEKSI lebih kepada pendokumentasian best practices. Diantara Surabaya dengan program Composting Takakura, Pontianak dengan program LFtE bersama Gikoko, Pekalongan dengan program energi dari ampas tahu, Bogor dengan program biodiesel minyak jelantah, Malang dengan Bank Sampah Kota, dan Padang program pengumpulan sampah yang unik.

Forum diskusi menyarankan agar tindak lanjut hasil pertemuan ini disampaikan langsung dari InSWA kepada Presiden, agar mengurangi jalur birokrasi. Sebagai eksekutor, kementerian akan mendukung jika sudah menjadi kebijakan. Forum juga mengharapkan agar untuk jangka waktu yang lebih pendek dan menengah, InSWA dapat mendorong proses capacity building, khususnya knowledge sharing mengenai teknologi WtE, bahkan juga dalam menyusun masterplan persampahan kota, baik untuk Pemda, Konsultan, Investor, dll. Disampaikan juga bahwa berdasarkan informasi yang ada, KLH saat ini sedang memiliki kerjasama dengan 5 negara (Jepang, Korea, China, Denmark, Polandia) mengenai isu persampahan. Disarankan agar upaya forum ini dapat link dengan pengalaman-pengalaman di negara tersebut. Selain itu, disarankan juga untuk melibatkan forum kota-kota penggiat sanitasi, yang secara rutin memiliki forum termasuk Road Show Sanitation and City Sanitation Summit.

Perwakilan ISWA memberikan sekilas informasi mengenai organisasi ini. ISWA adalah NGO yang sudah berumur 40 tahun dan berbasis di Vienna, Austria, meliputi sector swasta, pemerintah, akademisi, dan praktisi persampahan lainnya sebagai anggota. Saat ini memiliki 41 National Member, salah satunya adalah InSWA sebagai perwakilan Indonesia dan WMAM sebagai perwakilan Malaysia. Dalam forum ini, ISWA menyampaikan program diantaranya (1) Training Course di Bangkok, Thailand yang bekerjasama dengan UNEP, (2) sertifikasi International Waste Manager yang berbasis di Singapore, dan (3) Waste to Energy yang berfokus untuk negara berkembang, yang salah satunya dengan publikasi ISWA Guideline terkait isu ini.
Perwakilan WMAM menyampaikan beberapa pengalaman persampahan di Malaysia. Dimulai tahun 1994, ketika pemerintah Malaysia memutuskan untuk privatisasi pengelolaan sampah, dipayungi Undang Undang, dimana dilakukan tender internasional yand diikuti 51 negara. Dari seluruh peserta, hanya 28 perusahaan yang submit proposal. Di awal, tender dimaksudkan untuk memilih 1 perusahaan pemenang untuk seluruh wilayah Malaysia, namun berubah dan diputuskan pada akhir 1995 menjadi 4 pemenang yang akan bekerja berdasarkan wilayah (Utara, Tengah, Selatan, dan Timur). Tender berada dibawah koordinasi Economic Planning Unit, yang saat ini dikenal dengan UKAS, atau unit Public Private Partnership, dibawah Perdana Menteri.

Tahun 1996, ditengah proses negosiasi antara perusahaan dan pemerintah, pemerintah federal menginstruksikan agar seluruh perusahaan langsung beroperasi, dengan pola interim agreement yang berbasis pembayaran tahunan, dan ditandangani antara perusahaan dan setiap pemerintah daerah. Pola konsesi interim ini menggunakan skema khusus dan cukup rumit – karena tidak bankable – dengan kombinasi management fee bulanan berdasarkan proyeksi biaya actual yang disetujui pemerintah daerah (local authority), pengalihan tenaga kerja dari sector public ke sector swasta, dan trust bahwa pemerintah federal akan menepati janjinya untuk full privatization. Bukan hal yang mudah untuk meyakinkan pemerintah daerah satu persatu untuk mengikuti dan menyetujui skema interim tersebut, namun pada tahun 2003, seluruh wilayah Selatan berhasil mencapai privatisasi penuh.

Permasalahan utama adalah sistem interim yang semula direncanakan 2 tahun menjadi 15 tahun, dimana selama waktu tersebut dilakukan negosiasi panjang dengan EPU terkait negosiasi tariff, menyetujui KPI, dll. Tidak heran jika dari 4 perusahaan pemenang, hanya 2 (wilayah Pusat dan Selatan) yang berhasil bertahan. Namun pelajaran terpenting adalah adanya Undang- Undang yang mendorong federalisasi sistem pengelolaan sampah, yaitu pengalihan fungsi pengelolaan sampah yang semula dilakukan pemerintah daerah menjadi tanggung jawab pemerintah federal. Sistem ini jauh lebih baik karena banyak pemerintah daerah yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pembiayaan, sehingga federalisasi – dibawah lembaga baru ‘Kebadanan’ – memungkinkan subsidi silang. Setelah melewati masa interim yang panjang, pada tahun 2011, dimulai konsesi penuh kepada swasta untuk jangka waktu 20 tahun lebih. Proses privatisasi dan federalisasi pengelolaan sampah di Malaysia ini didukung oleh DANIDA.

Terkait Waste to Energy, pemerintah Malaysia memiliki kebijakan terkait insentif renewable energy. WtE sulit diwujudkan sebelumnya dengan sistem BOT, karena capex dan opex yang tinggi. Sedangkan umumnya local authority tidak mampu membayar tarif diatas 30 ringgit per ton. Oleh karena itu saat ini pemerintah federal sedang menangani proses tender 3 project WtE. Namun penyelesaian permasalahan pendanaan ini tidak dibarengi dengan dukungan masyarakat, yang masih bermental Not In My Back Yard (NIMBY), sehingga melatarbelakangi direncanakannya ISWA Beacon Conference di Kuala Lumpur yang akan datang.
Dalam catatan akhirnya, ISWA sangat mengapresiasi seluruh stakeholder yang terlibat dalam diskusi forum ini, dan menyadari dinamisnya permasalahan persampahan khususnya WtE di Indonesia. Untuk itu, peran Indonesia sangat diharapkan dalam ISWA Beacon Conference mengenai Waste to Energy yang akan dilaksanakan pada 16 dan 17 April 2015 di Kuala Lumpur, Malaysia. InSWA dalam penutupan forum ini menggarisbawahi pentingnya peran pengambil keputusan di high level agar secara nasional prioritas WtE khususnya kebijakan dan pendanaan memiliki kejelasan bagi para pelaksana teknis di daerah. Diharapkan para peserta forum ini dapat terus terlibat dalam tindak lanjut dan juga forum diskusi yang akan dilaksanakan selanjutnya.

 

Terkait Waste to Energy, pemerintah Malaysia memiliki kebijakan terkait insentif renewable energy. WtE sulit diwujudkan sebelumnya dengan sistem BOT,karena capex dan opex yangtinggi. Sedangkan umumnya local authority tidak mampu membayar tarif diatas 30 ringgit per ton. Oleh karena itu saat ini pemerintah federal sedang menangani proses tender 3 project WtE. Namun penyelesaian permasalahan pendanaan ini tidak dibarengi dengan dukungan masyarakat, yang masih bermental Not In My Back Yard (NIMBY), sehingga melatarbelakangi direncanakannya ISWA Beacon Conference di Kuala Lumpur yang akan datang.

“Ratu Sampah” : Masterplane Pengelolaan 2012-32 Solusi Atasi Sampah

Jakarta, HanTer – Usai memutuskan kontrak dengan para pengusaha sebagai operator sampah, Pemprov DKI Jakarta  tetap kewalahan menangani sampah di Ibukota. Manajemen pengangkutan sampah belum terbangun sehingga sampah masih berserakan bahkan hingga menggunung di sudut-sudut kota.

Sebenarnya lima tahun terakhir, DKI sudah melakukan  beberapa perbaikan, terbukti tahun lalu TPA Bantargebang terpilih menjadi TPA terbaik di penilaian Adipura dan empat Walikota mendapat Adipura. “Tapi tahun ini lepas semua. Jadi ada kemunduran,” kata Sri Bebassari, Ketua Umum Indonesia Solid Waste Association (InSWA) yang telah menjadi pemerhati sampah DKI  selama 35 tahun.

Sri menambahkan, saat ini TPA Bantargebang masih menjadi tumpuan utama untuk pengeloaan sampah di DKI. Oleh karena itu, semua pihak harus harus menjaga dan memeliharanya agar tetap bisa beroperasi.  “Tapi mungkin perlu didisain ulang karena kapasitas  sampahnya sudah tidak sesuai lagi dengan rencana di kontrak. Tahun 2014 DKI rencananya sudah punya “WC” sampah sendiri” di dalam kota sehinga sampah yang  yang diangkut ke TPA Bantargebang Bekasi sudah berkurang,” ujar wanita yang dijuluki “Ratu Sampah” ini.

Menurut Sri, salah satu rencana instalasi pengelolaan sampah di DKI adalah Intermediate Treatment Facility (ITF) Sunter yang sudah dilakukan proses tendernya dengan kapasitas 1000 ton per hari dengan teknologi Waste to Energy dengan hasil sampingan sekitar 12 MW per hari.

Direncanakan ada tiga ITF di dalam kota sehingga yang dibuang ke TPA Bantargebang Bekasi hanya sisanya sekitar 2000 ton per hari atau sekitar 30 % dari 6000 ton per hari.

Sri meminta agar permasalahan sampah di DKI sebaiknya menjalankan perencanaan yang sudah disusun konsultan dalam masterplan (rencana induk) pengelolaan sampah DKI 2012 hingga 2032.

Padahal, rencana induk itu sangat penting sebagai pedoman pemerintah mengatasi persoalan sampah yang kian hari kian menumpuk. “ Ini yang  seharusnya menjadi acuan pembangunan kebersihan di ibukota selama 20 tahun ke depan,” kata Sri.

Sumber : http://harianterbit.com

FRIC ber kolaborasi dengan InSWA gelar Sandset Music FestiVal

Jakarta Kewalahan Mengelola Sampah


JAKARTA,  — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih kewalahan menangani sampah Ibu Kota. Manajemen pengangkutan dan pengolahan sampah belum terbangun dengan baik. Pada saat bersamaan, produksi sampah belum bisa ditekan sehingga sampah berserakan di ruang-ruang publik.

Untuk mengatasi masalah itu, Pemprov DKI mengalokasikan anggaran Rp 1,3 triliun untuk dinas kebersihan. Sebagian besar dana itu dipakai untuk pengangkutan dan pengelolaan sampah di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat. Namun, tetap saja persoalan sampah di Jakarta tidak tertangani maksimal.

Peneliti Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Firdaus Ali, menilai, penanganan sampah bukan terletak pada besarnya alokasi anggaran, melainkan pada konsep penanganan yang tepat. ”Penanganan sampah itu sangat terkait dengan masalah sosial. Sayangnya, partisipasi masyarakat minim, begitu pula dengan sumber daya manusia dan prasarana yang ada,” kata Firdaus, Senin (31/3/2014), di Jakarta.

Dinas Kebersihan DKI Jakarta mengklaim sampah di DKI Jakarta yang diangkut ke Bantargebang berkisar 6.000-6.500 ton per hari. Saat ini tersedia 801 truk, sebanyak 510 truk di antaranya tidak layak pakai. Sebelumnya, 67 persen pengangkutan sampah dilakukan perusahaan swasta. Namun, per 31 Desember 2013, kontrak kerja sama dengan 24 perusahaan pengangkut sampah dihentikan.

Sejak itu, pengangkutan sampah dilakukan menggunakan truk DKI dan sewaan. Namun, jumlahnya tidak sebanding dengan produksi sampah, baik di permukiman maupun tempat umum lain. ”Ini bukti bahwa DKI sangat bergantung pada swasta. Ketika kerja sama berhenti, pemerintah gamang,” kata Firdaus.

Di Lenteng Agung, Jakarta Selatan, tumpukan sampah menggunung hingga 2 meter. Kepala Suku Dinas Kebersihan Jakarta Selatan Zaenal Syarifudin mengakui, tumpukan sampah itu terjadi karena pihaknya kekurangan truk pengangkut. Di Jakarta Selatan saat ini baru tersedia 75 truk, sementara yang dibutuhkan 99 truk.

Di Kelurahan Bungur, Jakarta Pusat, sisa sampah yang tidak terangkut truk tersimpan dalam 30 gerobak sampah. Rohini (54), petugas kebersihan setempat, mengatakan, sejak awal 2014, truk pengangkut sampah hanya datang pada pagi hari. Sebelumnya, truk itu datang sehari dua kali pada pagi dan sore.

Solusi DKI

Pemprov DKI Jakarta menempuh berbagai cara untuk mengatasi masalah sampah. Salah satunya menyerahkan penanganan sampah di pasar tradisional per 1 April kepada PD Pasar Jaya. Namun, Direktur Utama PD Pasar Jaya Djangga Lubis mengatakan, pengelolaan itu belum dapat dilaksanakan secara mandiri. PD Pasar Jaya masih butuh bantuan dinas kebersihan karena belum punya truk pengangkut sampah di 153 pasar.

Menurut Wakil Kepala Dinas Kebersihan DKI Isnawa Adji, pembagian zona komersial itu akan disahkan melalui keputusan gubernur. ”Harapan kami ada keadilan karena pemerintah tidak lagi menangani sampah di area komersial, tetapi fokus di permukiman warga,” katanya.

Sementara itu, pengolahan sampah di dalam kota terus dikerjakan. Di TPST Rawasari, Jakarta Pusat, pengolahan sampah tetap berjalan meski dana dari Pemprov DKI Jakarta belum turun. Ketua Umum Indonesia Solid Waste Association (InSWA) Sri Bebassari mengatakan, pengolahan sampah organik menjadi kompos dilakukan dengan dana penelitian dari InSWA. Hal itu karena dana dari Pemprov DKI Jakarta belum cair.

Mengubah pola pikir

Terkait dengan masalah sampah, pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga, mendorong agar pemerintah tidak bergantung pada solusi teknis. Penyediaan truk dan perbaikan tempat pembuangan akhir belum cukup untuk mengurangi produksi sampah.

Pola pikir pemerintah, masyarakat, dan pengusaha juga perlu diubah. ”Menyelesaikan persoalan sampah bukan hanya melalui solusi teknis. Pemerintah dan masyarakat juga perlu mengubah pola pikir mereka. Persoalan sampah harus diselesaikan di sumbernya. Dengan begitu, tidak akan ada lagi persoalan sampah menumpuk,” kata Nirwono.

Masyarakat bisa mulai dengan memilah sampah organik dan non-organik di lingkungan rumah masing-masing. Sampah organik dikelola menjadi kompos, sedangkan sampah non-organik didaur ulang menjadi batako atau produk-produk lain yang bermanfaat. Gerakan seperti ini seharusnya didorong pemerintah. (A07/A14/A03/PIN/MDN/NDY/ART)

Sumber : Kompas.com

http://megapolitan.kompas.com/read/2014/04/01/0831590/Jakarta.Kewalahan.Mengelola.Sampah

 

Restauranpun ternyata bisa tanpa sampah


Seorang pemilik restoran di Chicago mengaku belum pernah membuang sampah selama dua tahun menjalankan usahanya. Tapi, jangan dulu mengira restorannya lantas penuh sampah. Sebaliknya, Justin Vrany, 36, menetapkan konsep “zero waste restaurant” alias rumah makan tanpa sampah.
Restoran bernama Sandwich Me In itu berupa restoran siap saji. Padahal umumnya, restoran siap saji memproduksi banyak sampah, mulai dari bahan makanan hingga kemasan pembungkus. Lalu apa yang dilakukan Vraney?
Kepada Huffington Post, Vraney menjelaskan semua “sampah” yang dihasilkan restorannya dia gunakan kembali.
“Saya juga menerapkan konsep pembelanjaan secara lokal, jadi semua produk bahan makanan yang datang ke restoran tidak dalam kemasan besar yang akan menyebabkan banyak sampah,” terang Vraney.
Tidak hanya itu, Vraney juga menerapkan produksi hemat energi dan praktek 5R, yakni Reduce, Reuse, Recycle, serta Reject dan Refuse yang dilakukannya untuk produk-produk berkemasan yang ditawarkan ke restorannya.
Tapi Vraney mengakui, tidak mudah menjalankan restoran tanpa sampah dan juga hemat energi. Selama enam bulan, praktis Vraney kerja sendirian karena dia berusaha menekan energi dan juga produksi sampah.
“Memiliki banyak karyawan sama dengan menambah jumlah sampah,” katanya.

Untuk itu, Vraney dengan selektif memilih karyawannya. Dia hanya mempekerjakan mereka yang punya visi dan misi serupa dengannya.
“Bagi saya, ini bukan soal uang. Saya melihat gambaran besarnya, ini untuk masa depan dunia yang akan saya wariskan bagi anak-anak saya,” ujar Vraney.
Kabar baiknya, karena Vraney tidak mengeluarkan biaya untuk mengelola sampah, dia pun bisa menekan harga jual makanannya. Alasan yang membuat pelanggan terus mengalir ke Sandwich Me In.
Lalu bagimana cara Vraney mengolah “sampah” hariannya? Pria tersebut mengungkapkan, sisa sayuran yang tidak terpakai tidak masuk dalam tong sampah, melainkan disumbangkan pada petani untuk pakan ternak, yang juga merupakan supplier Vraney.
Selain itu, sampah kering seperti kemasan makanan yang dibawa masuk pelanggan, diberikan Vraney kepada seniman lokal untuk dijadikan karya seni.
“Ini bisnis yang berkelanjutan dan saya harap lebih banyak pengusaha restoran bisa menerapkan hal ini,” ujarnya. (ms)

Sumber : http://life.viva.co.id/news/read/500624-restoran-ini-tidak-buang-sampah-dua-tahun

 

Project Based Learning (PBL) Kelas 7 Sekolah Alam Cikeas, Belajar Sampah di TPST Rawasari

http://inswa.or.id/wp-content/uploads/2014/03/PBL-tile.jpg
Pada 3-5 Maret 2014 lalu, TPST Rawasari dan Kelurahan Cempaka Putih Timur menjadi lokasi kegiatan PBL semester kedua siswa kelas 7 SAC. Di semester pertama, mereka telah melaksanakan PBL ke Muara Angke dan Pulau Rambut. Di sana mereka mengukur kualitas air, melihat sendiri bagaimana sampah menutupi sungai, lalu menyebar ke muara dan laut, membahayakan kehidupan makhluk hidup; burung dan ikan, mengancam pendapatan para nelayan dan kualitas hidup masyarakat setempat.

PBL kedua ini mereka mencari tahu solusi permasalahan sampah sehingga sampah tidak mengancam lingkungan, tidak menutupi saluran air, tidak terbuang ke tempat-tempat ilegal.

Di TPST Rawasari, anak2 belajar mengelola sampah skala kawasan dan rumah tangga; mulai dari mengangkut sampah, memilah, hingga mengolah dengan proses pengomposan..mereka juga melakukan studi jenis dan komposisi sampah, mengetahui peran serta masyarakat, aspek kelembagaan dan pembiayaan dalam pengelolaan sampah di tingkat masyarakat.

Anak-anak belajar bahwa setiap orang harus bertanggungjawab terhadap sampahnya, sampah bukan sesuatu yang menakutkan dan menjijikkan, bahkan bisa memberi manfaat buat kita semua jika dikelola dengan baik.

Dengan memberikan pembelajaran sejak dini terhadap perlunya kelestarian lingkungan khususnya pengolahan sampah, diharapkan anak-anak akan lebih terbangun kesadarannya, mengingat mereka adalah generasi penerus yang akan memikul tanggung jawab akan kelangsungan bumi ini dimasa yang akan datang

That was a great experience..bring a lot of happiness to share with great wonderful children..

Banjir Jakarta Surut, Sampah Menggunung

Banjir Jakarta Surut, Sampah Menggunung Jakarta – Banjir yang melanda Jakarta dalam dua hari terakhir sudah mulai surut. Namun, masalah baru muncul: sampah menggunung di permukiman warga hingga ke jalan raya.

Misalnya di Jalan Otista Raya dan Jalan Kalibata Raya, Jakarta Timur, sampah terlihat tertumpuk di sisi jalan. Berbagai macam sampah seperti piring, gelas, dan bahkan kasur teronggok. Tak ayal lagi, lalu lintas pun sempat tersendat.

Suku Dinas Kebersihan Jakarta Timur telah mengerahkan sepuluh truk sampah serta 200 petugas kebersihan untuk mengangkut tumpukan sampah sejak Senin kemarin. “Setiap harinya sepuluh truk mengangkut sampah,” ujar Kepala Suku Dinas Kebersihan Jakarta Timur Apul Silalahi, Rabu, 15 Januari 2014.

Apul menyatakan, sebagian sampah bukan berasal dari sungai, tapi dari rumah warga. “Setelah banjir, banyak warga yang membuang barang yang tidak diperlukan lagi akibat terendam banjir,” ucapnya. Maka, ia melanjutkan, “Dibuanglah ke sisi jalan.”

Apul mengaku, kedua jalan raya tersebut merupakan ruas yang paling banyak dipenuhi sampah. “Yang lain ada, tapi tak sebanyak ini dan masih bisa diatasi oleh petugas,” katanya.

Setelah diambil petugas kebersihan, kata dia, sampah diangkut ke Bantar Gebang, Bekasi, serta ke Kelapa Dua Wetan, Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur.

Sumber: Tempo.co

Soal sampah,ternyata warga Jakarta belum berubah

http://www.metrotvnews.com/image.php?image=bank_images/actual/118992.jpgJAKARTA, KOMPAS.com – Kesadaran warga atas kebersihan Jakarta masih rendah. Timbunan sampah setelah acara Jakarta Night Festival (JNF) 2013-2014 adalah indikator hal tersebut. Kepala Dinas Kebersihan Jakarta, Unu Nurdin mengatakan meski pihaknya belum mendapatkan laporan berapa jumlah sampah warga di acara itu, tapi dia telah mendapat gambaran umumnya.

“Secara umum masih belum ada kesadaran akan kebersihan bagi warga Jakarta. Kita lihat masih sangat banyak sampah di sekitar jalan,” ujar Unu ketika dihubungi wartawan, Rabu (1/1/2014).

“Ada yang buang nasi bungkus. Coba bayangin satu orang, satu nasi bungkus dibuang ke jalan. Akhirnya lengket. Tambah beban buat kita saja. Karena itu sampah basah, jadi berat,” lanjut Unu.

Unu menyesali sampah-sampah berserakan di dekat tong sampah. Unu mengaku heran apakah warga melihat tong sampah tersebut atau tidak. Unu yakin, peningkatan kesadaran akan kebersihan akan menguntungkan pihaknya dan warga sendiri.

Sekedar gambaran, JNF 2012 meninggalkan 600 ton sampah atau 10 persen dari sampah yang dihasilkan seluruh wilayah DKI Jakarta dalam sehari. Jumlah tersebut terbilang fantastis karena sekitar satu juta warga yang datang dari Jakarta dan sekitarnya memenuhi kawasan Senayan-Medan Merdeka Barat. Perayaan tersebut digelar hanya dalam waktu 5 jam atau sejak pukul 21.00 – 02.00 dini hari.

Sumber: Kompas.com